KOMPAS.com - Sebuah video viral yang memperlihatkan kondisi kampung nelayan dengan deretan rumah mewah diperbincangkan di media sosial.
Video tersebut diunggah oleh akun TikTok @elizasifaa, Senin (24/5/2021).
@elizasifaaTertarik nyari gebetan orang sini gak ?? ????????
? Build a Bitch - Bella Poarch
Akun @elizasifaa menyebutkan, kampung nelayan itu berada di Desa Bendar, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Dalam video tersebut, @elizasifaa memperlihatkan kondisi kampung nelayan yang dipenuhi deretan rumah mewah.
"Ini baru masuk di desanya udah disambut rumah2 gedong. 95% penduduk disini bekerja sebagai nelayan. Walo kampung nelayan..tapi rumahnya jauh dari kata sederhana," tulis @elizasifaa dalam keterangan video.
Penampakan kampung nelayan ini jauh dari kata kumuh seperti yang banyak dibayangkan orang-orang. Rumah-rumah yang berdiri mewah menarik perhatian warganet.
Hingga Selasa (25/5/2021), unggahan video itu telah mendapat lebih dari 360.000 likes dan 12.000 komentar.
Baca juga: Tanggapan Pertamina soal Video Viral Pria Marah-marah di SPBU Saat Petugas Shalat Jumat
Rumah-rumah mewah di Desa Bendar bukan kali ini saja ramai dibicarakan. Sebelumnya, Harian Kompas pernah memuat kisah kampung nelayan itu.
Dalam pemberitaan Harian Kompas, 23 Agustus 2008, yang ditulis oleh Ahmad Arif dan Haryo Damardono, Desa Bendar disebutkan sebagai pengecualian sebuah desa nelayan.
Di desa itu nelayan tak tinggal di gubuk reyot, tetapi di rumah-rumah seperti istana: gedung dua lantai bahkan lebih, pilar-pilar tinggi, lantai berlapis marmer, dan atap genteng beton. Ada rumah yang dilengkapi kolam renang.
Adapun Desa Bendar terletak di antara Laut Jawa dan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg), bersisian dengan Sungai Juwana.
Kendati kini dikenal sebagi kampung nelayan mewah, kondisi tersebut tidak serta-merta terjadi begitu saja. Dulunya kampung itu juga kumuh.
"Tahun '80-an, desa kami memang masih seperti itu. Rumah-rumah masih kumuh dan masyarakat masih miskin," kata Sariyani, nelayan Bendar, yang mulai melaut sejak tahun 1952 dengan perahu layar.
Berselang puluhan tahun kemudian, pada 2008, Sariyani memiliki tujuh kapal, masing-masing berbobot di atas 100 gross ton. Harganya lebih dari Rp 1 miliar per unit.
Kehidupan nelayan mulai membaik ketika pemerintah mengeruk Sungai Juwana sekitar tahun 1980-an.