Saksi mata mengatakan, Corrie naik ke atas tumpukan tanah yang berada di jalur buldoser.
"Buldoser itu melaju ke arahnya dengan sangat lambat. Dia terlihat jelas sepenuhnya, tepat di depan mereka," kata rekan aktivis Tom Dale.
"Sayangnya dia tidak bisa menahan cengkeramannya di sana dan dia mulai terpeleset. Dia dalam masalah serius. Ada kepanikan di wajahnya saat dia berbalik," sambungnya.
Semua aktivis berteriak lalu berlari ke arah buldoser, dan berusaha menghentikannya. Tapi buldoser itu tetap berjalan menabrak Corrie.
Dia sempat dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans Bulan Sabut Merah, namun nyawanya tak tertolong.
Orang-orang Gaza menggambarkannya sebagai "martir" dan melakukan pemakaman besar-besaran untuk teman Amerika mereka.
Tidak ada senator AS yang menghadiri pemakamannya.
Investigasi Israel atas kematiannya menyimpulkan bahwa itu adalah kecelakaan. Baik komunitas internasional maupun orang tua Corrie tidak mempercayai penjelasan Israel.
Baca juga: 10 Negara yang Masih Bebas Covid-19 Setelah Setahun Lebih Pandemi
Pada tahun 2005, orang tua Corrie mengajukan gugatan perdata terhadap Israel, menyatakan bahwa dia sengaja dibunuh atau bahwa tentara telah menunjukkan kelalaian kriminal.
Mereka menuntut ganti rugi simbolis sebesar satu dolar AS.
Pengadilan Israel menolak gugatan pada tahun 2012 yang memutuskan bahwa pemerintah Israel tidak bertanggung jawab atas kematiannya.
Putusan itu dikecam oleh organisasi hak asasi manusia seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, serta aktivis.
Sejak saat itu, Corrie menjadi salah satu simbol perjuangan Palestina.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Uang Pecahan 1.0 yang Viral di TikTok dan Kegunaannya
Usai kematian, catatan dan email Corrie saat di Palestina disebarkan dalam berbagai bentuk.
Disebutkan pada awal 2003, pasukan, tank, dan kendaraan lapis baja Israel setiap hari hadir di Rafah dan kota-kota lain. Penembak jitu ditempatkan di menara pengawas, helikopter dan pesawat militer berdengung di langit.