KOMPAS.com - Parsel atau hantaran utamanya saat Lebaran lazim ditemui sebagai ucapan terima kasih dan menjalin silaturahmi.
Pemberian parsel atau hantaran tersebut mulai ramai jelang perayaan Idul Fitri, baik dari pribadi atau instansi.
Akan tetapi, akankah pemberian ini bisa jadi bentuk gratifikasi?
Baca juga: Nurdin Abdullah, dari Akademisi hingga Jadi Tersangka Korupsi
Menjelang Idul Fitri, pengiriman parcel antarrekan kerja & antarteman semakin marak. Apa itu termasuk gratifikasi/bukan? Jangan sampai niat baik kita disalahartikan karena tidak memahami artinya.
Yuk, tonton videonya agar lebih jelas & #TolakGratifikasi #KementerianInvestasi pic.twitter.com/khPeXFB8yn
— Kementerian Investasi/BKPM (@bkpm) May 6, 2021
Juru Bicara Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ipi Maryati Kuding menjelaskan bahwa pengertian gratifikasi bisa luas.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12B, gratifikasi bisa meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Pemberian ini bisa diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
"Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa gratifikasi memiliki makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut," kata, Ipi saat dihubungi Kompas.com, Jumat (7/5/2021).
Maka, tidak semua gratifikasi bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja.
Baca juga: Mulan Jameela, Kacamata Gucci dan Apa Itu Gratifikasi?
Lebih lanjut, Ipi menjelaskan mengenai pemberian yang berindikasi sebagai suap.
Pemberian patut dicurigai jika diberikan pada pegawai negeri atau penyelenggara negara, penerimaan berhubungan dengan jabatan, dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban penerima.
"Gratifikasi itulah yang disebut pada Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor sebagai gratifikasi yang dianggap pemberian suap," tutur Ipi.
Baca juga: Trending Topic Taufik Hidayat dan Lingkaran Korupsi di Kemenpora...
Suatu pemberian menjadi gratifikasi yang dianggap suap, jika mencakup hal berikut:
Pemberian dengan indikasi di atas merupakan jenis gratifikasi yang harus ditolak oleh setiap pegawai negeri/penyelenggara negara.
Baca juga: Mensos Juliari, Lemahnya Transparansi, dan Benarkah Kebijakan Bansos Membuka Celah Korupsi?
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi menetapkan 17 jenis gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dikecualikan atau tidak perlu dilaporkan kepada KPK.
Salah satunya pada poin O, mengenai pemberian sesama rekan kerja yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, dan tidak terkait kedinasan paling banyak senilai Rp 200 ribu setiap pemberian per orang.
Adapun total pemberian tidak melebihi Rp 1 juta dalam 1 tahun dari pemberi yang sama.
"Maka pemberian parsel/hampers Lebaran senilai tersebut kepada rekan kerja yang seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, termasuk gratifikasi yang tidak dilarang dan tidak wajib dilaporkan kepada KPK," terang Ipi.
Akan tetapi, ketentuan ini tidak berlaku bagi pihak lain yang bukan rekan kerja.
Baca juga: Juliari Batubara dan Sederet Menteri Sosial yang Ditangkap KPK karena Korupsi...
Lebih lanjut, Ipi mengatakan, jika pemberian berkaitan dengan suap maka berapa pun nilainya, penerima gratifikasi wajib melaporkan kepada KPK.
Penerima parsel atau hantaran yang berindikasi pemberian suap, dapat melapor melalui aplikasi pelaporan gratifikasi online (GOL) pada tautan https://gol.kpk.go.id.
Aplikasi pelaporan online dapat diunduh di Play Store atau App Store dengan kata kunci GOL KPK atau Gratifikasi KPK.
Pelapor juga bisa mengirim surat elektronik di alamat pelaporan.gratifikasi@kpk.go.id atau alamat pos KPK.
Informasi seputar gratifikasi, juga bisa diakses di laman https://gratifikasi.kpk.go.id/ atau telepon ke layanan informasi publik KPK di nomor 198.
Baca juga: Mantan Napi Korupsi Diperbolehkan Ikut Pilkada, KPK: Kita Harus Tegas