Di tengah centang-perenangnya penularan wabah COVID-19, umat Islam di Indonesia tengah sibuk menyiapkan Hari Raya Lebaran atau Idul Fitri. Ini tahun kedua kita menyambut tradisi mudik di tengah wabah terbesar dalam sejarah manusia.
Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan aturan pelarangan mudik, juga untuk kedua kalinya. Hanya bedanya dengan tahun lalu, kali ini pemerintah tampak lebih sigap: buru-buru melarang sejak awal bulan Ramadan – semula diberlakukan antara 6-17 Mei, kemudian rentang waktunya diperpanjang mulai 22 April hingga 24 Mei.
Tujuannya jelas: mencegah naiknya angka transmisi, yang biasanya selalu melonjak acap kali pasca-liburan panjang, sebagaimana terjadi pada awal tahun 2021.
Ambil contoh, pada 27 Januari 2021, sebulan setelah libur panjang Tahun Baru, kasus positif di Indonesia mencapai rekor lebih dari satu juta jiwa orang. Padahal sebulan sebelumnya, sekitar akhir Desember 2020 angkanya masih berkisar 600-an ribu.
Kesigapan pemerintah itu patut digarisbawahi, khususnya mewaspadai penyebaran beberapa varian baru hasil mutasi virus corona seperti virus corona B117, yang sering lebih menular ketimbang "induk" Sang Virus. Baca juga: Menilik Varian B117, Mutasi Virus Corona yang Diyakini Lebih Mudah Menular
Juga, yang sangat mengerikan, adalah bencana lonjakan angka penularan di India, sampai-sampai pasien harus dirawat di tepi jalan di luar rumah sakit, berhubung fasilitas kesehatan negeri Sungai Gangga itu tak lagi bisa menampung mereka. Baca juga: Tsunami Corona di India: 117 Orang Meninggal Per Jam, Anak Buang Ibunya di Jalan
Walaupun ada pihak-pihak yang keberatan pada pelarangan itu, ahli epidemiologi menganggap kebijakan mudik sebagai “tepat secara saintifik”. Jika tidak ada blokade itu, diperkirakan 80 jutaan orang akan bepergian ke kampung halamannya selama liburan panjang ini.
Tahun lalu, “embargo” itu berhasil menurunkan 70-an persen pemudik dibandingkan 2019. Berkat pelarangan mudik sekarang ini, diduga sekitar 19 jutaan orang akan tetap mudik.
Tak pelak, Presiden Jokowi pun mewanti-wanti para kepala daerah soal ini. Tahun lalu, meski ada pembatasan, kasus Covid sesudah lebaran naik 93 persen. Baca juga: Jokowi: Saya Betul-betul Masih Khawatir soal Mudik Lebaran...
Tentu saja di antara kepala daerah itu, yang paling sibuk adalah pemerintah ibukota DKI Jakarta, asal jumlah pemudik paling banyak (maklum saja, Jakarta kan dipenuhi jutaan pendatang).
Sejatinya, Pemda DKI sudah mencoba menerapkan pembatasan perjalanan yang sangat ketat, termasuk misalnya melalui kebijakan Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) sejak Mei 2020, bagi semua orang yang hendak keluar atau masuk Jakarta.
Lewat SIKM ini pemudik harus memperoleh izin dari lingkungan (RT dan RW) sekitar tempat tinggal mereka.
Karuan saja kebijakan itu membawa hasil bagus. Selama Ramadan tahun lalu Jakarta berhasil menekan jumlah kasus penularan, berkat SIKM yang memang dimaksudkan untuk mencegah penularan secara lebih efisien.
Walakin, tidak lama kemudian Pemda DKI mesti meninjau kembali SIKM itu, berhubung kurangnya dukungan dari pemerintah pusat, yang lebih mengkhawatirkan dampak ekonomi. Akibatnya, kasus transmisi memburuk kembali.
Belajar dari kejadian tahun lalu, kali ini selayaknya kita perlu mempertimbangkan kembali kebijakan semacam SIKM itu, mengingat dampak positif yang dihasilkannya.
Walakin, jika mau menerapkan hal itu, maka ia harus dilaksanakan segera. Secepatnya. Sebelum jumlah pemudik memuncak di hari-hari menjelang lebaran nanti – agar nasi tidak keburu menjadi bubur.
Tahun lalu, sementara ahli menganggap pelarangan pemerintah itu terlambat berhubung ia diterapkan sesudah banyak pemudik sampai di kampung halaman. Baca juga: Jokowi Larang Mudik, Ahli: Kebijakan yang Tepat Meskipun Terlambat
Sementara itu ada hal lain yang patut disayangkan: pemerintah tampak masih setengah hati dalam usaha menekan jumlah penularan. Di satu sisi terdapat larangan mudik, tetapi di sisi lain tempat-tempat wisata dibuka.
Katanya sih, lokasi wisata itu diperuntukkan bagi warga lokal, bukan pemudik. Tetapi, siapa bisa melarang orang yang datang, di tengah menurunnya disiplin menjaga protokol kesehatan yang satu di antaranya disebabkan sikap “terlalu optimis” setelah menerima vaksinasi?
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.