Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syafiq Basri Assegaff
Pengamat masalah sosial

Pengamat masalah sosial keagamaan, pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta.

Mengapa Mesti Mudik Jika Risikonya Begitu Besar?

Kompas.com - 30/04/2021, 22:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di tengah centang-perenangnya penularan wabah COVID-19, umat Islam di Indonesia tengah sibuk menyiapkan Hari Raya Lebaran atau Idul Fitri. Ini tahun kedua kita menyambut tradisi mudik di tengah wabah terbesar dalam sejarah manusia.

Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan aturan pelarangan mudik, juga untuk kedua kalinya. Hanya bedanya dengan tahun lalu, kali ini pemerintah tampak lebih sigap: buru-buru melarang sejak awal bulan Ramadan – semula diberlakukan antara 6-17 Mei, kemudian rentang waktunya diperpanjang mulai 22 April hingga 24 Mei.

Tujuannya jelas: mencegah naiknya angka transmisi, yang biasanya selalu melonjak acap kali pasca-liburan panjang, sebagaimana terjadi pada awal tahun 2021.

Ambil contoh, pada 27 Januari 2021, sebulan setelah libur panjang Tahun Baru, kasus positif di Indonesia mencapai rekor lebih dari satu juta jiwa orang. Padahal sebulan sebelumnya, sekitar akhir Desember 2020 angkanya masih berkisar 600-an ribu.

Kesigapan pemerintah itu patut digarisbawahi, khususnya mewaspadai penyebaran beberapa varian baru hasil mutasi virus corona seperti virus corona B117, yang sering lebih menular ketimbang "induk" Sang Virus. Baca juga: Menilik Varian B117, Mutasi Virus Corona yang Diyakini Lebih Mudah Menular

Juga, yang sangat mengerikan, adalah bencana lonjakan angka penularan di India, sampai-sampai pasien harus dirawat di tepi jalan di luar rumah sakit, berhubung fasilitas kesehatan negeri Sungai Gangga itu tak lagi bisa menampung mereka. Baca juga: Tsunami Corona di India: 117 Orang Meninggal Per Jam, Anak Buang Ibunya di Jalan

Walaupun ada pihak-pihak yang keberatan pada pelarangan itu, ahli epidemiologi menganggap kebijakan mudik sebagai “tepat secara saintifik”. Jika tidak ada blokade itu, diperkirakan 80 jutaan orang akan bepergian ke kampung halamannya selama liburan panjang ini.

Tahun lalu, “embargo” itu berhasil menurunkan 70-an persen pemudik dibandingkan 2019. Berkat pelarangan mudik sekarang ini, diduga sekitar 19 jutaan orang akan tetap mudik.

Tak pelak, Presiden Jokowi pun mewanti-wanti para kepala daerah soal ini. Tahun lalu, meski ada pembatasan, kasus Covid sesudah lebaran naik 93 persen. Baca juga: Jokowi: Saya Betul-betul Masih Khawatir soal Mudik Lebaran...

Tentu saja di antara kepala daerah itu, yang paling sibuk adalah pemerintah ibukota DKI Jakarta, asal jumlah pemudik paling banyak (maklum saja, Jakarta kan dipenuhi jutaan pendatang).

Sejatinya, Pemda DKI sudah mencoba menerapkan pembatasan perjalanan yang sangat ketat, termasuk misalnya melalui kebijakan Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) sejak Mei 2020, bagi semua orang yang hendak keluar atau masuk Jakarta.

Lewat SIKM ini pemudik harus memperoleh izin dari lingkungan (RT dan RW) sekitar tempat tinggal mereka.

Karuan saja kebijakan itu membawa hasil bagus. Selama Ramadan tahun lalu Jakarta berhasil menekan jumlah kasus penularan, berkat SIKM yang memang dimaksudkan untuk mencegah penularan secara lebih efisien.

Walakin, tidak lama kemudian Pemda DKI mesti meninjau kembali SIKM itu, berhubung kurangnya dukungan dari pemerintah pusat, yang lebih mengkhawatirkan dampak ekonomi. Akibatnya, kasus transmisi memburuk kembali.

Sejumlah petugas gabungan saat melakukan sosialisasi di masa pengetatan larangan mudik Lebaran di check point Bundaran Waru Jalan Ahmad Yani, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (29/4/2021)KOMPAS.COM/GHINAN SALMAN Sejumlah petugas gabungan saat melakukan sosialisasi di masa pengetatan larangan mudik Lebaran di check point Bundaran Waru Jalan Ahmad Yani, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (29/4/2021)

Lebih mudah mencegah di tahap awal

Belajar dari kejadian tahun lalu, kali ini selayaknya kita perlu mempertimbangkan kembali kebijakan semacam SIKM itu, mengingat dampak positif yang dihasilkannya.

Walakin, jika mau menerapkan hal itu, maka ia harus dilaksanakan segera. Secepatnya. Sebelum jumlah pemudik memuncak di hari-hari menjelang lebaran nanti – agar nasi tidak keburu menjadi bubur.

Tahun lalu, sementara ahli menganggap pelarangan pemerintah itu terlambat berhubung ia diterapkan sesudah banyak pemudik sampai di kampung halaman. Baca juga: Jokowi Larang Mudik, Ahli: Kebijakan yang Tepat Meskipun Terlambat

Sementara itu ada hal lain yang patut disayangkan: pemerintah tampak masih setengah hati dalam usaha menekan jumlah penularan. Di satu sisi terdapat larangan mudik, tetapi di sisi lain tempat-tempat wisata dibuka.

Katanya sih, lokasi wisata itu diperuntukkan bagi warga lokal, bukan pemudik. Tetapi, siapa bisa melarang orang yang datang, di tengah menurunnya disiplin menjaga protokol kesehatan yang satu di antaranya disebabkan sikap “terlalu optimis” setelah menerima vaksinasi?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Mengenal Mycoplasma, Bakteri yang Disebut Jadi Penyebab Kasus Pneumonia Misterius di China

Mengenal Mycoplasma, Bakteri yang Disebut Jadi Penyebab Kasus Pneumonia Misterius di China

Tren
Jarang Diketahui, Ini 8 Manfaat Rutin Minum Air Rebusan Daun Mangga

Jarang Diketahui, Ini 8 Manfaat Rutin Minum Air Rebusan Daun Mangga

Tren
Link dan Cara Cek Hasil Seleksi Administrasi PLD Kemendesa 2023

Link dan Cara Cek Hasil Seleksi Administrasi PLD Kemendesa 2023

Tren
Sengkarut, Investigasi yang Menguak Sisi Tergelap Manusia

Sengkarut, Investigasi yang Menguak Sisi Tergelap Manusia

Tren
Bisakah Penumpang Kereta Ekonomi Pilih Kursi yang Tidak Hadap Mundur?

Bisakah Penumpang Kereta Ekonomi Pilih Kursi yang Tidak Hadap Mundur?

Tren
Mengenal Negara-negara Transkontinental yang Wilayahnya Ada di Dua atau Lebih Benua

Mengenal Negara-negara Transkontinental yang Wilayahnya Ada di Dua atau Lebih Benua

Tren
Cara Cek Data DTKS Sudah Terdaftar atau Belum agar Dapat Bansos

Cara Cek Data DTKS Sudah Terdaftar atau Belum agar Dapat Bansos

Tren
Fenomena 'Full-Time Children' di China, Anak Muda Pilih Tidak Kerja tapi Digaji Orangtua

Fenomena "Full-Time Children" di China, Anak Muda Pilih Tidak Kerja tapi Digaji Orangtua

Tren
Sebabkan RS Penuh, Ini Dugaan Penyebab Pneumonia Misterius di China

Sebabkan RS Penuh, Ini Dugaan Penyebab Pneumonia Misterius di China

Tren
Ramai soal Standar Ganteng Tergantung Zaman, Sosiolog: Produk Sosial dan Budaya Masyarakat

Ramai soal Standar Ganteng Tergantung Zaman, Sosiolog: Produk Sosial dan Budaya Masyarakat

Tren
Gmail dan Akun Google yang Tak Aktif Akan Dihapus pada 1 Desember 2023

Gmail dan Akun Google yang Tak Aktif Akan Dihapus pada 1 Desember 2023

Tren
Cara Daftar Face Recognition Boarding Kereta Api lewat Aplikasi Access by KAI

Cara Daftar Face Recognition Boarding Kereta Api lewat Aplikasi Access by KAI

Tren
AC atau Kipas Angin, Mana yang Lebih Baik bagi Kesehatan? Ini Risetnya

AC atau Kipas Angin, Mana yang Lebih Baik bagi Kesehatan? Ini Risetnya

Tren
Tidak Dianjurkan Resign Kurang dari Setahun Kerja, Ini Risiko dan Cara Aman Melakukannya

Tidak Dianjurkan Resign Kurang dari Setahun Kerja, Ini Risiko dan Cara Aman Melakukannya

Tren
SWDKLLJ Disebut Bisa Dicairkan hingga Rp 50 Juta, Ini Penjelasan Jasa Raharja

SWDKLLJ Disebut Bisa Dicairkan hingga Rp 50 Juta, Ini Penjelasan Jasa Raharja

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com