Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Trending IPK 1,77, Ini Sejarah Istilah Nasib Satu Koma atau Nasakom

Kompas.com - 27/02/2021, 19:30 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Warganet di media sosial Twitter baru-baru ini ramai memperbincangkan tentang indeks prestasi kumulatif (IPK) dan hubungannya dengan peluang mendapatkan pekerjaan.

Seperti diberitakan Kompas.com, Sabtu (27/2/2021) perbincangan tentang IPK itu bermula dari seorang warganet yang mengaku memiliki IPK 1,77, tapi berhasil mendapatkan posisi mentereng di sejumlah perusahaan.

Berawal dari twit tersebut, topik IPK pun ramai diperbincangkan.

Baca juga: Viral, Video Muda-mudi di Lumajang Joget Tak Jelas di Lampu Merah, Apa Motivasinya?

Hingga Jumat (26/2/2021) malam pukul 22.30 WIB, tagar IPK 1,77 menjadi treding topic dengan lebih dari 26.000 twit.

Sebagian warganet, yang menilai IPK 1,77 rendah, kemudian melontarkan sebutan 'nasakom' alias nasib satu koma.

Istilah tersebut pernah populer di Indonesia, untuk menyebut mahasiswa yang memiliki IPK dengan angka satu lebih sekian, alias ber-IPK rendah.

Baca juga: Seni Perlawanan Anak Muda di Balik Poster Lucu Pendemo

Lantas, sejak kapan istilah nasakom populer dan mengapa sekarang sudah jarang terdengar?

Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (Unair) Purnawan Basundoro mengatakan, istilah atau sebutan nasakom sempat populer di kalangan mahasiswa Indonesia antara 1980-an hingga 1990-an.

"Saya kan kuliah tahun 90, itu istilah nasib satu koma itu masih populer. Dugaan saya, mungkin tahun 80-an, 90-an, istilah itu muncul," kata Purnawan saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (27/2/2021)

Purnawan mengatakan, istilah nasakom pada saat itu adalah guyonan atau bahan candaan saat para mahasiswa tengah berkumpul santai alias nongkrong-nongkrong.

"Itu biasanya untuk guyonan sebenarnya 'Oh ini nasib satu koma, nasakom' begitu. Karena memang dulu banyak orang yang kuliah IPK-nya cuma 1,8 atau 1,7 itu banyak sekali," katanya lagi.

Baca juga: Kisah di Balik Viralnya Kado Saham Wisuda Mahasiswi UI

Mengenai penyebab mahasiswa di era 1980-1990 sering mendapat IPK rendah, menurut Purnawan, hal itu disebabkan model perkuliahan saat itu yang belum terstruktur dengan baik.

"Jadi nilai itu sangat tergantung kepada dosen. Kalau dosen kasih nilai D, ya kita harus terima, dan banyak yang seperti itu. Saya juga beberapa kali ya dapat nilai kayak gitu," kata Purnawan.

Selain itu, menurut dia, pada masa itu ada sebagian dosen yang memberikan standar kompetensi sangat tinggi kepada mahasiswanya.

Sehingga banyak mahasiswa yang pada akhirnya tidak mampu mencapai standar, dan hanya mendapat nilai D atau E.

Baca juga: 10 Universitas Swasta Terbaik di Indonesia Versi Webometrics 2021

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com