Berdasarkan pengamatannya, para remaja pengguna internet tersebut tidak menaruh perhatian terlalu besar terhadap isu politik.
"Terus kalau mereka kan banyak sekali yang masuk K-Pop (kultur pop Korea Selatan). Nah di K-Pop itu kan interaksinya internasional, enggak hanya dengan teman-temannya di Indonesia saja, artinya budaya internasional itu kebawa," ujar Fahmi.
"Net-tiquette (kesopanan berinternet) nya kan kebawa. Mungkin anak-anak muda ini lebih banyak terpengaruh budaya luar ya, yang lebih menghargai," kata dia.
Sementara, pada pengguna internet usia dewasa, menurut pengamatan Fahmi, mereka bisa lebih bebas berpendapat karena adanya polarisasi, yang akhirnya mewarnai interaksi antar pengguna media sosial di Indonesia.
"Polarisasi itu bisa karena politik, bisa karena agama, dan biasanya orang kalau sudah merasa benar dengan pendiriannya itu udah bisa ngomong apa pun itu dengan sesama saudaranya, yang berteman pun bisa akhirnya musuh-musuhan," kata Fahmi.
Fahmi mengatakan, buzzer memainkan peranan penting membentuk polarisasi di media sosial Indonesia, yang akhirnya membuat orang menjadi "tidak punya hati" ketika muncul atau berinteraksi di media sosial.
"Buzzer, kemudian saling perang tentang hoax, itu adalah keyword-keyword yang langsung muncul ketika kita mendengar media sosial di Indonesia. Bukan entrepreneurship, start-up, Big Data, terus IoT (Internet of Things), itu kan keilmuan tuh," kata Fahmi.
Menurut Fahmi, polarisasi yang tercipta karena adanya buzzer juga mendorong lahirnya budaya akun anonim agar para pemiliknya merasa bebas untuk mengutarakan apa pun.
Dia mengatakan, hal tersebut juga dapat dilihat pada tanggapan yang diberikan oleh warganet Indonesia kepada Microsoft, setelah raksasa teknologi itu merilis laporan DCI terbaru.
"Begitu dia (Microsoft) ngasih komen itu, langsung dihajar rame-rame. Karena sudah dianggap beda. Karena sudah terbiasa sebelumnya," kata Fahmi.
"Jadi kita enggak ada edukasi, literasi, net-tiquette itu enggak ada, yang ada adalah didikan menjadi buzzer. Kita dikasih contoh bagaimana berkomunikasi ala buzzer, ala polarisasi, di mana di situ kita sering bermusuhan," papar dia.
Salah satu poin dalam laporan DCI terbaru dari Microsoft menyebutkan, 5 dari 10 responden mengaku pernah terlibat perundungan online. Sementara, 19 persen responden mengaku pernah menjadi korban perundungan online.
Riset itu mengungkapkan, generasi millenial menjadi yang terdampak paling parah akibat perundungan online, disusul oleh Generasi Z, Gen X, dan Boomers.
Menanggapi soal fenomena perundungan di dunia maya, Fahmi mensinyalir, hal itu karena ketiadaan edukasi mengenai topik tersebut, yang terintegrasi dengan kurikulum pendidikan formal di Indonesia.
"Saya 10 tahun di Belanda, anak saya kan juga sekolah di sana, dan saya jadi tahu bahwa anak usia SD pun sudah diajarin. Tidak boleh melakukan bullying, dan apa yang harus kamu lakukan ketika kamu di-bully, atau bagaimana ketika kamu melihat orang lain di-bully, apa yang kamu lakukan? Oh mengingatkan dan seterusnya, itu sudah diajarin," ujar Fahmi.