KOMPAS.com - Di media sosial Twitter, Minggu (7/2/2021), viral unggahan berupa tangkapan layar sebuah akun Instagram yang berbagi cerita soal tindakan petugas di kawasan Malioboro, Yogyakarta, yang dianggapnya tak pantas.
Petugas itu mengomentari pakaian pemilik akun itu dan menimbulkan rasa tidak nyaman.
Keramaian itu bermula dari unggahan akun di Twitter, @AREAJULID, yang membagikan tangkapan layar itu.
Dis! Hmmmm gimana nih bro n sis?
— AREA JULID (@AREAJULID) February 7, 2021
pic.twitter.com/guobyyikeZ
Apa itu catcalling? Apakah yang terjadi pada unggahan di atas termasuk catcalling?
Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat menjelaskan, catcalling merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual dalam bentuk kekerasan verbal atau kekerasan psikis.
"Terdapat nuansa seksual dalam ucapan, komentar, siulan, atau pujian, kadang-kadang disertai kedipan mata. Korban merasa dilecehkan, tak nyaman, terganggu, bahkan terteror," katanya saat dihubungi Kompas.com, Minggu (7/2/2021).
Pujian atau sapaan bernuansa seksual, selama ini dianggap biasa saja. Padahal, perilaku semacam ini merupakan salah satu bentuk pelecehan.
Catcalling merupakan bentuk pelecehan seksual di ruang publik, biasanya dilakukan di jalanan atau fasilitas umum lainnya.
Menurut Rainy, ada pengaruh relasi kuasa pada perilaku catcalling.
"Pelaku merasa berada pada posisi superior sehingga berhak melakukan sesukanya tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain,"kata Rainy.
Pelakunya bisa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, sendiri atau beramai-ramai.
Catcalling juga dapat dialami siapa saja tanpa pandang jenis kelamin. Akan tetapi, kata Rainy, korban terbanyak adalah perempuan.
"Walau laki-laki bisa jadi korban catcalling, namun korban terbanyak perempuan," kata dia.
Baca juga: Viral, Video Pengakuan Penjual Tahu Bulat Diduga Lakukan Pelecehan Seksual
Dalam beberapa kasus pelecehan verbal, pakaian atau penampilan korban, kerap dijadikan alasan.
Rainy menegaskan, pandangan semacam ini adalah hal yang salah.
Pada kasus catcalling yang dialami korban, yang mayoritas perempuan, dipandang sebagai objek seksual.
"Tubuh perempuan dipandang sebagai tubuh seksual yang membuat laki-laki tergoda," kata Rainy.
Rainy mencontohkan, kasus catcalling yang terjadi pada malam hari terhadap perempuan yang sendirian menunggu bus di halte. Ketika terjadi catcalling, korban justru disalahkan.
"Jadi (yang disalahkan) bukan pelaku yang mengenakan lensa patriarkis dalam memandang perempuan," ujar Rainy.
Rainy menegaskan, pelecehan tejadi bukan karena penampilan atau apa yang dipakai korban, tetapi memang kultur si pelaku pelecehan.
Ia juga menekankan, tindakan seperti ini tak bisa dibenarkan. Pada tingkatan tertentu, Rainy mengungkapkan, dampak catcalling dapat menimbulkan trauma berkepanjangan terhadap korbannya.
Korban jadi membatasi mobilitasnya jika tidak ditemani saat keluar rumah, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dan menghambat perkembangan pribadinya.
"Segala bentuk pelecehan seksual tak boleh dibiarkan, apalagi atas nama perbuatan iseng, bila kita ingin membangun masyarakat tanpa kekerasan," kata Rainy.
Baca juga: Kasus Pegawai Starbucks dan Pemahaman soal Pelecehan terhadap Perempuan...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.