"Semua siswa sekolah pilot diajari bagaimana mesin dalam kondisi mati lalu pilot harus mendaratkan pesawat," kata Tatang, jenderal lulusan TNI AU 1970 dan lama menjadi penerbang pesawat tempur.
Lalu, bagaimana jika yang bermasalah adalah sistem kemudi alias flight control pesawat, apakah fatal? Tatang menjawab, Iya.
Dua kecelakaan pesawat sebelumnya yakni Air Asia QZ 8501 dan Lion Air JT 610 yang sama-sama menghujam ke laut disebabkan masalah flight control.
Meski demikian, kita tidak bisa langsung "jump to conclusions" (mengambil kesimpulan dengan jalan pintas) bahwa pesawat Sriwijaya SJ-182 disebabkan karena masalah yang sama.
Air Asia yang mengalami kecelakaan pada 2015 disebabkan oleh faktor kombinasi antara human error (kesalahan manusia) dan faktor sistem kendali, yakni rusaknya Rudder Travel Limiter (RTL) yang membatasi naik-turun moncong pesawat.
Kita tahu bahwa ketika moncong pesawat alias angle of attack (AOA) terlalu menanjak (di atas 15 derajat) maka pesawat akan kehilangan daya angkat (stall) dan jatuh.
Demikian pula dengan pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, pada 2018. Penyebabnya adalah indikator pada angle of attack yang membuat pesawat juga mengalami stall.
Kerusakan ini belakangan diketahui terjadi akibat permasalahan pada pesawat baru yang akhirnya sempat dikandangkan di seluruh dunia pasca-kejadian serupa yang dialami maskapai Ethiopian Airlines 10 Maret 2019. Baca juga: Boeing 737 Max 8 dan Penjelasan Penyebab Jatuhnya Lion Air JT-610 dan Ethiopian Airlines Flight 302
Penyelidikan KNKT masih terus berlangsung. Seluruh perangkat dan data telah dikumpulkan. Tanpa bermaksud mendahului hasil penyelidikan, sudah selayaknya pengawasan diperketat selama pandemi.
Bukankah kita berkeyakinan sama dalam konteks dunia transportasi, terlebih di udara, bahwa inspeksi paripurna adalah harga mati!
Saya Aiman Witjaksono.
Salam!