Demokrasi digital yang dimaknai sebagai perluasan ruang berekspresi ke wilayah daring mendapatkan momentumnya sejak keberhasilan gerakan kelompok Freedom Technologist di Spanyol, Timur Tengah, hingga meluas ke banyak tempat di dunia memanfaatkan teknologi sebagai alat tak terpisahkan untuk mendorong agenda demokratisasi (John Postill, 2014).
Tak kurang, sosiolog Manuel Castell mengatakan bagaimana internet telah menjadi kekuatan yang otonom, tidak terkooptasi Negara dan korporasi media, untuk melakukan kontra kekuasaan. (Castell, 2011)
Pandangan para intelektual tersebut tidak salah, tetapi kurang memerhatikan lahirnya kekerasan digital yang berakar dari penyebaran disinformasi dan ujaran kebencian. Ujaran kebencian, terutama dipandang sebagai borok dari demokrasi, melawan hukum, dan berseberangan dengan kemerdekaan berekspresi.
Dalam hukum internasional, ujaran kebencian dilarang dan tidak dianggap bagian dari kemerdekaan berekspresi. Pendapat ini kemudian melahirkan pandangan bahwa apa yang dilarang di luring, juga haruslah dilarang di daring.
Karenanya dalam menjawab pertanyaan kedua, tindakan yang dilakukan perusahaan teknologi terhadap Donald Trump adalah penegasan apa yang dilarang dalam hukum internasional, ini bukanlah sensor terhadap pendapat yang dilindungi, tetapi merupakan penegakan hukum yang menjamin kemerdekaan berekspresi.
Biarpun demikian, apakah perusahaan platform teknologi dapat melakukan aksi polisional terhadap konten berdasarkan hukum internasional tersebut?
Komite HAM PBB telah menyatakan bahwa dalam melakukan pembatasan pelaksanaan kebebasan berekspresi, tidak diperbolehkan justru membuat hilangnya hak itu sendiri.
Komite mengingatkan “bahwa hubungan antara hak dan pembatasan dan antara norma dan pengecualian tidak boleh menyebabkan situasi berbalik.”
Kemudian Pelapor Khusus PBB untuk Promosi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat David Kaye mengatakan menghentikan dan menyaring (blocking and filtering) pengguna dari akses internet, terlepas dari justifikasi yang diberikan, menjadi tidak proporsional dan dengan demikian merupakan pelanggaran terhadap pasal 19, paragraf 3, dari Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICPPR).
Dalam melakukan pembatasan tersebut, pendapat hukum tersebut dapat dijadikan pegangan bahwa hanya mekanisme pengadilan yang dianggap cukup proporsional untuk menilai pertimbangan pembekuan akun media sosial.
Tindakan perusahaan-perusahaan platform teknologi sekalipun mungkin disadur dari aturan hukum internasional ke dalam kebijakan internal platform, tidak membuat langkah tersebut cukup proporsional dalam kacamata hak digital.