"Terus misalnya kita minta fotokopi KTP korban. Karena di fotokopi KTP ada tanggal lahir, jadi kita tahu rentang usianya, terus ada golongan darah," kata Ade.
"Termasuk juga misalnya, foto saat dia sebelum berangkat. Orang ini misalnya lagi pakai earphone, pakai baju warna coklat, dengan motif apa, itu kan akan lebih melengkapi," lanjut dia.
Selain itu, pada saat antemortem, tim forensik juga bisa meminta contoh sidik jari korban, yang salah satunya bisa dilihat di KTP atau ijazah.
Mengenai profil DNA, Ade mengatakan, bisa diambil dari keluarga atau properti pribadi. Misalnya dari profil DNA ayah atau ibu korban, jika tidak ada bisa juga diambil dari profil DNA saudara kandungnya.
"Karena profil DNA anak itu, pasti 50 persen dari bapaknya, 50 persen dari ibunya, atau mixing dari keduanya itu. Jadi match antara jenazah yang kita periksa dengan itu," kata Ade.
Ade mengatakan, seumpama jenazah yang ditemukan tidak dalam kondisi utuh, hal tersebut tidak menjadi masalah karena bagian tubuh apa pun yang ditemukan masih mengandung DNA, sehingga masih bisa dijadikan sebagai penanda identifikasi primer untuk mengidentifikasi korban.
Ade mengatakan, data antemortem yang lengkap, serta data dari lokasi penemuan jenazah, dan data postmortem yang komplet akan memudahkan tim forensik melakukan fase keempat, yaitu fase rekonsiliasi.
"Fase rekonsiliasi itu fase matching tadi. Antara data fase 1, fase 2, dengan fase 3 tadi. Jadi kita matching-kan," kata Ade.
Ade mengatakan, proses identifikasi jenazah dalam kasus jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 ini relatif lebih mudah.
Sebab, kasus tersebut termasuk dalam kasus bencana tertutup (closed disaster), berbeda dengan kasus bencana terbuka (open disaster), seperti peristiwa gempa bumi di Palu beberapa waktu lalu.
"Closed disaster, karena orang-orangnya, manifesnya ya itu-itu saja. Kalau gempa bumi seperti waktu itu di Palu, itu open disaster, enggak tahu siapa yang meninggal atau bagaimana," kata Ade.
"Namun, lokasinya (jatuhnya Sriwijaya Air) yang memang terbuka, luas, sehingga memang pencarian jenazahnya itu akan menyulitkan," lanjut dia.
Ade mengatakan, proses identifikasi jenazah dalam kasus bencana massal membutuhkan data selengkap mungkin.
Karena jenazah yang ditemukan tidak selalu dalam kondisi utuh, sehingga kelengkapan data akan sangat membantu proses identifikasi.
"Imbauan saya, kepada seluruh anggota keluarga yang merasa kehilangan keluarganya, menjadi korban dari musibah ini, penanda identifikasi itu kan dua, primer dan sekunder. Sekunder pun tapi bila itu yang sangat spesifik, itu sangat membantu," kata Ade.