KOMPAS.com - Baru-baru ini rapid test antigen atau swab antigen ramai dibicarakan. Sebab, jenis tes virus corona itu dijadikan syarat bepergian keluar kota dan menjadi syarat masuk ke beberapa kota.
Meski sudah digunakan di luar negeri, di Indonesia rapid test antigen ini belum banyak dilakukan.
Beberapa pakar kesehatan masyarakat sudah sejak lama menyarankan penggunaannya di Indonesia, karena dinilai lebih akurat daripada rapid test antibodi, serta lebih murah dan cepat daripada swab PCR.
Lantas, bagaimana akurasi rapid test antigen dibanding dengan tes virus corona lainnya?
Baca juga: Kemenkes: RS dan Klinik Swasta Harus Ikuti Batas Tarif Rapid Test Antigen
Mengutip Kompas.com, Jumat (18/12/2020), menurut Dokter umum sekaligus kandidat PhD di Medical Science di Kobe University, Adam Prabata, rapid test antigen dan swab antigen keduanya istilah yang sama.
Rapid test antigen memiliki sensitivitas maksimal 94 persen dan spesifisitas sebesar lebih dari 97 persen.
"Risiko negatif palsu tinggi, terutama bila viral load rendah atau sebelum 1-3 hari pra-gejala dan sudah lebih dari 7 hari gejala muncul," kata Adam.
Viral load merupakan prediksi jumlah virus yang ada di dalam tubuh berdasarkan hasil CT-Value PCR.
Jika menilik pada tingkat keefektifan, Adam mengatakan masa swab antigen memiliki akurasi tinggi, hampir sama dengan waktu pasien Covid-19 berisiko menularkan ke orang lain.
Adapun, masa swab antigen akurasi tinggi ini terjadi setelah masa infeksius atau setelah hari ke-10 setelah bergejala.
Diberitakan Kompas.com, Sabtu (19/12/2020), rapid test antigen dinilai lebih akurat dibandingkan tes antibodi karena dapat mengidentifikasi virus dalam sekresi hidung dan tenggorokan.
Baca juga: Ramai Warganet Pertanyakan soal Rapid Test Antigen, Ini Penjelasan KAI
Meski demikian, tes jenis ini hanya bagian dari screening awal. Hasilnya harus tetap dikonfirmasi dengan tes swab PCR yang lebih akurat.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) merekomendasikan rapid test antigen untuk screening Covid-19. Terutama, untuk pasien tanpa gejala atau dengan kecurigaan kontak terhadap pasien Covid-19.
Sementara itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan rapid test antigen untuk daerah transmisi komunitas terjadi luas dan pemeriksaan PCR tidak ada atau hasilnya muncul lambat.
Akan tetapi, melansir laman Harvard University, 16 Desember 2020, hasil negatif palsu cenderung lebih sering terjadi dengan uji antigen dibandingkan dengan uji molekuler.