SEBAGAIMANA biasa, sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) pada 1948, tanggal 10 Desember setiap tahun menjadi pengingat atas HAM.
Namun, pada 2020 ini, saat pandemi Covid-19 masih mengganas, hari HAM internasional tersebut semestinya dimaknai secara berbeda dari biasanya.
Terhitung sejak pertama kali teridentifikasi pada akhir Desember 2019 di Wuhan, China, wabah Covid-19 telah berlangsung hampir setahun lamanya.
Atau, telah 10 bulan lamanya, terhitung sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa Covid-19 telah mencapai level pandemi globa pada l1 Maret 2020.
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan krisis HAM yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Selain merongrong HAM atas kesehatan, Covid-19 telah memporakporandakan pilar-pilar HAM lainnya.
Covid-19 telah membatasi Hak Asasi Pribadi (personal rights) khususnya kebebasan untuk bergerak, bepergian, dan berpindah-pindah tempat; dan hak kebebasan untuk, menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.
Hampir 10 bulan lamanya warga tak lagi bebas berpergian, dan umat beragama tak lagi leluasa beribadah secara berjemaah.
Covid-19 juga telah merusak Hak Asasi Ekonomi (property rigths) khususnya hak untuk memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
Badan Pusat Statistik mencatat terdapat 29,12 juta penduduk usia kerja (14,28 persen dari total penduduk usia kerja sebanyak 203,97 juta) yang terdampak pandemi Covid-19 pada Agustus 2020.
Mereka mengalami pengurangan jam kerja hingga menjadi pengangguran, antara lain karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Covid-19 pun mengganggu jaminan atas Hak Asasi Sosial Budaya (social culture rights), khususnya untuk mendapatkan layanan pendidikan secara optimal.
Hampir 10 bulannya lamanya, jutaan anak-anak, remaja dan kaum muda terpaksa mendapatkan pelayanan pendidikan hanya secara daring, sehingga kurang optimal karena infrastuktur pendukung dan jaringan interbatas yang terbatas.
Deklarasi Universal HAM tahun 1948 menyebutkan kesehatan sebagai bagian dari hak atas standar hidup yang layak. Hak atas kesehatan kembali diakui sebagai hak asasi manusia dalam Perjanjian Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966.
Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa, setiap orang berhak atas "standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai", termasuk di dalam hak atas perawatan medis.
Berdasarkan itu, pemerintah berkewajiban untuk mengambil langkah efektif untuk "pencegahan, pengobatan, dan pengendalian epidemi, endemik, penyakit akibat kerja, dan penyakit lainnya".
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.