KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Sosial Juliari P Batubara (JPB) sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek pada 2020.
Penetapan tersangka ini merupakan tindak lanjut atas operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Jumat (5/12/2020) dini hari.
"KPK menetapkan lima orang tersangka. Sebagai penerima JPB, MJS dan AW. Kemudian sebagai pemberi AIM dan HS," kata Ketua KPK Firli Bahuri saat konferensi pers, Minggu (6/12/2012) dini hari.
MJS dan AW diketahui merupakan pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial. Sementara AIM dan HS merupakan pihak swasta.
Baca juga: Juliari Batubara dan Sederet Menteri Sosial yang Ditangkap KPK karena Korupsi...
Beberapa warganet di media sosial pun ikut berkomentar terkait peristiwa ini.
Salah satunya akun Twitter @ryan_akbarp yang menanyakan, apakah aturan hukuman mati tersebut dapat diberikan kepada mereka yang melakukan korupsi, salah satunya kepada Mensos Juliari Batubara.
"Kalau ga salah ada aturan hukuman mati buat korupsi bansos, dana bencana dll. Bisakah divonis itu???? wkowko," tulis akun Twitter @ryan_akbarp.
kalau ga salah ada aturan hukuman mati buat korupsi bansos, dana bencana dll. Bisakah divonis itu???? wkowko https://t.co/9kiw5lYpDP
— AM (@ryan_akbarp) December 6, 2020
Lantas, mungkinkah kasus korupsi yang dilakukan Mensos Juliari Batubara dapat menjeratnya pada hukuman mati?
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Yogyakarta, Agung Nugroho mengatakan, hukuman mati terdapat di Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan jenis korupsi berupa kerugian keuangan negara.
Agung melanjutkan, berbeda halnya dengan perbuatan yang dilakukan oleh Juliari Batubara, yakni masih diduga suap.
"Sedangkan yang dilakukan oleh yang bersangkutan (Juliari Batubara) merupakan suap yang diatur di pasal lain," ujar Agung saat dihubungi Kompas.com, Minggu (6/12/2020).
Adapun untuk mengarah ke hukuman mati, menurut Agung terdapat beberapa hal yang perlu dibuktikan oleh penyidik nantinya.
Seperti apakah ada dan terbukti kerugian keuangan negara yang terjadi di dalam kasus tersebut.
Baca juga: Potong Generasi Korupsi seperti Orde Baru kepada PKI, Mungkinkah?
Selain itu, kata Agung, terdapat tantangan lain seperti penjelasan Pasal 2 Ayat 2 yang hanya membatasi pada bencana alam. Sedangkan pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini merupakan bencana non alam.
Hal itu tentu masih akan menjadi perdebatan.
"Tantangan untuk membawa (kasus yang melibatkan Juliari) ke hukuman mati cukup berat bagi penegak hukum," ujar Agung.
"Namun, korupsi yang dilakukan oleh yang bersangkutan di masa pandemi seperti ini mestinya jadi pertimbangan penegak hukum untuk memperberat hukuman yang akan dijatuhkan nanti," tambah dia.
Senada dengan Agung, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Oce Madril menjelaskan, bahwa memang benar dalam UU Tipikor terdapat pilihan hukuman mati.
Namun, pemberian vonis hukuman mati tersebut terbatas pada beberapa hal.
"Pertama, terhadap pada modus korupsi kerugian keuangan negara. Maksudnya perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara," kata Oce saat dihubungi Kompas.com, Minggu (6/12/2020).
Baca juga: Suap Bansos Covid-19, KPK Isyaratkan Peluang Hukuman Mati
Kemudian, perbuatan korupsi jika dilakukan pada saat bencana atau pada saat krisis, sebagai contoh saat krisis ekonomi, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, dalam kasus ini lebih berhubungan langsung dengan suap yang tak lain menggunakan Pasal 12 tentang Tipikor.
"Berbeda dengan pasal yang memuat hukuman mati yang ada di Pasal 2. Karena ini modus suap, maka ya tentu bisa juga dikenakan hukuman maksimal," terangnya.
Adapun hukuman maksimal yang dia maksud adalah hukuman seumur hidup.
Menurut dia, opsi terbaik untuk diterapkan adalah dengan mengganjar pelaku korupsi dengan hukuman seumur hidup tadi.
"Jadi menurut saya, alih-alih kita menggunakan pendekatan hukuman mati, lebih baik menggunakan pendekatan hukuman maksimal seumur hidup," kata Oce.
Oce juga membeberkan beberapa contoh kasus korupsi yang bersifat strategis dimana para pelakunya diganjar dengan hukuman penjara seumur hidup.
"Dulu pernah dilakukan oleh mantan ketua MK, kemudian dalam kasus Jiwasraya itu juga rata-rata dihukum atau divonis seumur hidup," kata dia.
Baca juga: Ketua KPK Ingatkan Korupsi Penanganan Bencana Diancam Hukuman Mati
Sebelumnya dikutip dari Kompas.com (27/7/2020), Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri telah mengingatkan tentang ancaman hukuman mati terkait praktik korupsi dalam penanganan bencana.
Firli sudah memberikan peringatan supaya tak ada korupsi dalam upaya penanggulangan pandemi Covid-19, lantaran pihaknya bakal mengambil tindakan tegas.
"Pada saat ini negara kita sedang dilanda pandemi Covid-19. Kami ingatkan, KPK akan tegas dan akan terus berkomitmen memberantas korupsi," kata Firli melalui tayangan video dalam sebuah diskusi daring, Senin (27/7/2020).
"Ingat, tindak pidana korupsi yang dilakukan di dalam suasana bencana ancaman hukumannya adalah pidana mati," tegas dia.
Sebab menurut Firli, tindak pidana korupsi bukan hanya kejahatan yang merugikan negara, tetapi juga melanggar hak asasi manusia.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.