Pada saat itu, lustrasi merupakan tindakan sistemis untuk membersihkan anasir komunis dari bangunan demokrasi baru yang sedang dibangun.
Halili mengatakan, di Indonesia, istilah lustrasi sangat jarang dipakai dalam diskursus politik dan hukum, meski sebenarnya bukan benar-benar istilah baru.
Baca juga: Korupsi Bansos Ini Sangat Jahat...
Rezim Orde Baru telah melakukan lustrasi administratif atas tahanan politik/narapidana politik/eks -PKI (Partai Komunis Indonesia) melalui label khusus yang tersemat di kartu tanda penduduk (KTP) mereka.
Lustrasi administratif yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, mengakibatkan orang-orang yang mendapat label khusus itu tidak memiliki akses atas hukum dan pemerintahan yang mestinya sederajat untuk seluruh warga negara.
Pembatasan akses atas hukum dan pemerintahan inilah yang bisa dicoba diterapkan dalam konsep potong generasi pelaku korupsi yang dikemukakan oleh Halili.
Halili mengatakan, terdapat dua kemungkinan penerapan teori lustrasi dalam konsep potong generasi korupsi di Indonesia.
Pertama, lustrasi secara hukum. Dalam artian dibutuhkan perangkat hukum untuk melarang semua kelompok atau jaringan yang terkait dengan korupsi untuk terlibat di dalam pemerintahan.
"Sehingga, akses atas hukum dan pemerintahan yang mestinya sederajat untuk seluruh warga negara, itu kemudian tidak bisa diakses oleh yang bersangkutan (koruptor)," kata Halili.
Selain pembatasan akses atas hukum dan pemerintahan, Halili mengatakan, ada hal lain juga yang perlu dilakukan dalam penerapan potong generasi korupsi, yakni dari sisi sosio-kultural.
"Dan ini yang mestinya lebih bekerja efektif. Karena kalau kita berharap para pembuat peraturan perundang-undangan, dalam hal ini politisi, untuk membuat regulasi yang memungkinkan koruptor dan seluruh jaringannya itu dipotong habis sesuai dengan teori lustrasi, kayaknya kecil kemungkinan," kata Halili.
"Karena apa? yang melakukan korupsi juga kelompok mereka, yang selama ini mendanai jaringan ini juga sesama mereka. Jadi agak sulit untuk kita harapkan," imbuhnya.
Baca juga: Juliari Batubara dan Sederet Menteri Sosial yang Ditangkap KPK karena Korupsi...
Sehingga Halili berpendapat, lustrasi paling mungkin dilakukan dari aspek sosio kultural.
Artinya, masyarakat semestinya tidak lagi memberikan ruang kepada koruptor dan mantan koruptor, serta semua jaringan yang terkait dengan itu untuk terlibat dalam penentuan regulasi-regulasi sosial.
Meski dia mengatakan bahwa penerapan lustrasi dari aspek sosio-kultural adalah yang paling memungkinkan untuk dilakukan, namun Halili mengatakan bahwa penerapannya juga masih akan cukup sulit dilakukan.
"Kembali ke masyarakat kita, memang agak sulit karena corak masyarakat kita kan masih feodal ya," ujar dia.