Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Mewarisi Sukma Musik Matematikal Schoenberg

Kompas.com - 12/11/2020, 09:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ALBERT Einstein yang dilahirkan di Ulm pada tahun 1879 mulai menggagas general relativity untuk mencoba melepaskan diri dari penjajahan pemikiran fisikal Isaac Newton mau pun geometrikal Ecluid, nyaris bersamaan dengan Arnold Schoenberg yang dilahirkan di Wina pada tahun 1874 mulai menggagas pemikiran baru demi melepaskan diri dari penjajahan tradisi tonalitas warisan Bach-Beethoven-Brahms.

Serial musik

Pada tahun 1908 Arnold Schoenberg pada kuartet gesek opus 105 nomor 2 mulai konsekuen menggunakan sistem serial musik dengan melepaskan setiap nada pada sistem 12 nada dari belenggu tonalitas yang kemudian popular dengan sebutan atonal yang sebenarnya Schoenberg lebih suka sebutan pantonal sebab masing-masing 12 nada secara demokratis berperan tanpa ada yang lebih mau pun kurang dari satu dengan lainnya sebagai tonal yang berdaulat mandiri.

Namun setiap nada terkait dengan nada berikutnya secara berkelanjutan mirip sifat atom yang terkait dengan atom lain-lainnya. (Einstein juga kurang suka istilah relativitas sama dengan Schoenberg kurang suka istilah atonal )

Dodekafoni

Menarik adalah konsistensi Schoenberg dalam sistem dodekafoni (12 nada) di mana setiap nada diwajibkan hanya boleh sekali saja tampil di dalam sebuah serial yang maju-mundur serta bolak-balik secara original row lalu retrograde lalu inversion lalu retrograde-inversion konsekuen didayagunakan Schoenberg pada mahakarya Variations for Orchestra (1928) sebagai berikut: bes-e-fis-dis-f-a-d-cis-g-as-b-c lalu mundur sebagai c-b-as-g-cis-d-a-f-dis-fis-e-bes disusul cerminan original crow menjadi bes-e-d-f-dis-b-fis-g-cis-c-a-as lalu mundur sebagai as-a-c-cis-g-fis-b-dis-f-d-e-bes.

Geometri

Tidak kalah seru apabila urutan 12 nada dilukiskan pada lingkaran kuint (interval 5 nada) maka muncul pola geometris yang bagi saya memiliki keindahan tersendiri.

Ketika menuntut ilmu komposisi musik-akademis di Jerman, saya sempat gemar menyesawakan roh musik dengan pemikiran matematika serta penampakan geometris yang secara khusus senantiasa menggetar sukma kalbu saya.

Sistem serial 12 nada Schoenberg saya dayagunakan pada karya-karya dodekafonis-aleatorik yang kerap disebut musik-kuantum akibat secara tak terduga-duga selalu tampil beda setiap kali dipergelarkan.

Kembali ke fitrah

Di Jerman dengan lingkungan peradaban khas Eropa, efek tak terduga aura kuantumatematikal yang terkandung di dalam musik kombinatorika dodekafonis dengan aleatorik sempat saya gemari sebelum kembali ke Tanah Air Udara tercinta saya.

Di lingkungan kebudayaan bumi kelahiran saya sendiri, wajar bahwa secara spiritual saya kembali ke musik fitrah sukma musik saya pribadi yaitu musik Jawa dengan pancanada alias pentatonik 1-3-4-5-7 dan 1-3-4-6-7.

Meski tentu saja saya tidak bisa begitu saja melepaskan sukma-sukma musik yang sempat saya serap di lingkungan peradaban Eropa mulai dari belaian verismo-romantisme Chopin, sentuhan impresionisme Debussy, minimalisme Satie, gebrakan ekspresionisme Stravinski, renungan mistisisme Penderecki, sampai ke gagasan musik matematikal Schoenberg.

Sementara generasi pasca-Stockhausen di Eropa, naga-naganya juga mengalami gejala spiritualitas mirip saya yaitu akhirnya kembali ke fitrah peradaban musik Barat mereka sendiri yaitu tonalitas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com