Demi mendengar perkataan itu, Abu Lahb sontak menyahut, “Celaka engkau! Apakah hanya untuk menyampaikan hal ini kau mengumpulkan kami?” lantas ia pun beringsut pergi.
Persoalan tak lantas selesai. Abu Lahab, Abu Jahal, yang adalah paman Beliau Saw, malah kian gencar melakukan perisakan. Bukan lagi penolakan, apalagi boikot. Termasuk penyiksaan berujung kematian beberapa syuhada generasi pertama Islam, dan tentu upaya pembunuhan keponakan mereka sendiri.
Muhammad Saw yang sudah beroleh dukungan dari Hamzah (Sang Singa Padang Pasir) dan Umar bin Khattab, dua pemuka para ksatria Quraisy, tak memilih bentrokan fisik sebagai cara bertahan.
Sebaliknya, seluruh kebrutalan bandit Makkah itu didiamkan saja olehnya, sebelum kemudian hijrah ke Madinah. Padahal dua punggawanya termasuk satria pilih tanding yang belum pernah kalah duel.
Alhasil, Abu Lahab yang beringas itu pun tumpas, usai mendengar kemenangan kaum Muslim pada pertempuran pertama mereka di Badr. Jenazahnya dibiarkan membusuk selama tiga hari dan dimakamkan dengan cara yang begitu merepotkan karena tak ada satu orang pun yang berkenan mendekat.
Ketika sudah mukim di Madinah, laku lampah Nabi Saw juga tak jauh beda. Padahal jumlah Muslim terus membesar. Suku-suku besar dan penting di jazirah mulai merapatkan barisan ke komunitas orang beriman itu.
Pertumbuhan pesat sedemikian rupa, ternyata tak berbanding lurus dengan cara Rasulullah berdakwah. Beliau masih tetap sosok bersahaja yang tak keberatan namanya ditulis tanpa embel-embel Rasulullah pada Perjanjian Hudaibiyah.
Secara sepintas, ikatan itu merugikan kaum Muslim. Mereka dilarang masuk ke Makkah selama sepuluh tahun. Meskipun dari segi jumlah dan kekuatan bisa saja kafir Quraisy porak poranda kala itu juga bila Rasulullah memerintahkan mereka merebut kembali tanah kelahirannya.
Kisah ini barangkali terlampau heroik. Jangan khawatir, Kisanak, masih ada rekaman kejadian lain yang bersifat sangat pribadi.
Itulah momen istimewa kala Rasul Saw rutin menyuapi pengemis buta Yahudi yang mencaci-maki dirinya sedemikian gamblang. Catat, dicaci-maki. Disumpah serapahi. Bukan diparodikan dengan karikatur atau dikartunisasi.
Tapi manusia mulia ini memilih bungkam. Ia tetap setia pada misi utamanya. Menebar rahmat ke alam semesta. Menjadi suri tauladan bagi umat terbaik akhir zaman.
Kelak nanti, pengemis yang beruntung itu, memeluk Islam ketika mengetahui orang yang ia fitnah adalah Muhammad Sang Nabi dan sosok itu sampun katimbalan dening ngarsa dalem Allah Swt.
Mari kita periksa diri dengan lebih jeli. Sebagai Muslim kiwari, apa yang sudah kita lakukan sejauh ini untuk perkembangan Islam?
Tak usah bicara lingkup global. Di dalam keluarga saja, apakah kita sudah menjadi pengejawantahan rahmat Allah? Apakah kita telah memberi teladan dengan akhlak mulia?
Bila Macron menghina prinsip negaranya sendiri yang dikenal dengan liberte (asas kebebasan), egalite (kesetaraan), dan fraternite (persaudaraan), tiada mengapa. Tapi kita jelas tak boleh merusak citra Islam yang cinta damai dan menjunjung tinggi keselamatan umat manusia sejagad.