Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rencana Jepang Buang Jutaan Ton Air Limbah Nuklir ke Laut, Apa Dampaknya?

Kompas.com - 26/10/2020, 17:45 WIB
Nur Rohmi Aida,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Ledakan reaktor nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima menjadi bencana nuklir hebat di Jepang pada tahun 2011 silam.

Bencana tersebut membesar ketika gempa membawa kebocoran reaktor nuklir Daiichi Fukushima Jepang. Hasil penelitian memperkirakan jumlah kontaminasi nuklir mencapai 42 persen.

Setelah dibangunkan tangki raksasa untuk menyimpan air radioaktif, kini tangki tersebut sudah hampir penuh.

Pemerintah Jepang mulai kebingungan bagaimana mengatasi permasalahan tersebut.

Kini pemerintah Jepang menghadapi kontroversi terkait bagaimana cara membuang 1,23 juta metrik ton air yang disimpan di pabrik itu.

Air ini dinilai berbahaya karena mengandung isotop radioaktif karbon-14 serta mengandung radionuklida.

Bisa mengubah DNA manusia

Organisasi Lingkungan Greenpeace memperingatkan bahwa melepaskan air dari pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi yang terkontaminasi ke laut menimbulkan risiko.

Sebab air tersebut mengandung karbon radioaktif yang berpotensi mengubah dan merusak DNA manusia.

Baca juga: Abaikan Protes Nelayan, Jepang Akan Buang Limbah Radioaktif Fukushima ke Laut

Selain itu juga memberikan konsekuensi jangka panjang serius bagi masyarakat dan lingkungan jika sampai dilepaskan ke Samudera Pasifik.

Dikutip dari CNN, guna mendinginkan inti bahan bakar di pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima yang rusak, Tokyo Electric Power Company (TEPCO) memompa ribuan ton air selama bertahun-tahun.

Setelah digunakan, air tersebut disimpan.

Namun setelah bertahun-tahun semenjak bencana nuklir terburuk di Jepang itu berlalu, kini ruang penyimpanan air tersebut hampir habis.

Pemerintah Jepang sampai saat ini belum memutuskan apa yang akan dilakukan dengan air tersebut.

Pihak berwenang termasuk Menteri Lingkungan Negara Jepang menilai satu-satunya solusi adalah melepaskan air tersebut ke laut.

Baca juga: Jepang Akui Paparan Bencana Nuklir Fukushima Tewaskan Satu Pekerja

Ditentang

Namun rencana ini ditentang banyak pihak yang mengampanyekan lingkungan dan Perwakilan Industri Perikanan.

Pada hari Jumat (23/10/2020) Jepang akhirnya menunda keputusan tentang apa yang akan dilakukan dengan air itu.

"Untuk menghindari keterlambatan proses dekomisioning Fukushima Daiichi, kami perlu membuat keputusan bagaimana menangani air olahan yang meningkat setiap hari," kata Menteri Perindustrian Hiroshi Kajiyama.

Hari Jumat, Greenpeace merilis pernyataan yang mengatakan air selain mengandung isotop radioaktif tritium, juga mengandung isotop radioaktif karbon-14, yang merupakan penyumbang utama dosis radiasi manusia secara kolektif dan berpotensi merusak DNA manusia.

Shaun Burnie penulis laporan dan spesialis nuklir senior di Greenpeace Jerman mengatakan, mungkin ada total 63,6 GBq (gigabecquerels) karbon-14 di dalam tangki.

"Ini, bersama dengan radionuklida lain di dalam air akan tetap berbahaya selama ribuan tahun dengan potensi menyebabkan kerusakan genetik. Itu satu lagi alasan mengapa rencana ini harus ditinggalkan," kata Burnie.

Baca juga: Dampak Unsur Radioaktif: Bom Nuklir, Bahan Bakar dan Alat Medis

Diklaim aman

Namun, Ryonosuke Takanori seorang Juru Bicara TEPCO mengatakan karbon-14 yang terkandung dalam air yang diolah sekitar 2 hingga 220 becquerel per liter sehingga aman.

"Bahkan jika air terus diminum sebanyak 2 liter setiap hari, paparan tahunan sekitar 0,001 hingga 0,11 millisieverts, yang bukan merupakan tingkat yang mempengaruhi kesehatan,” kata Takanori.

Ia menilai keselamatan produk kesehatan, lingkungan dan perikanan di sekitar kawasan itu dinilai tetap terjamin karena langkah-langkah yang sesuai telah diambil dengan ketentuan hukum.

TEPCO sendiri mengatakan akan melakukan pengolahan sekunder agar standar pembuangan selain tritium dan bahan radioaktif termasuk karbon-14 dapat dikurangi sebanyak mungkin.

Sementara itu seorang pengamat Claire Corkhill di Universitas Sheffied Inggris mengatakan tritium telah banyak dilepaskan ke laut oleh negara-negara di seluruh dunia.

Adapun dampak yang terjadi menurutnya rendah terhadap organisme.

Ia juga mengatakan jumlah yang dibuang berdasarkan permodelan ilmiah menunjukkan tingkat isotop yang akan dibuang berada dalam batas yang masih dianggap aman oleh Jepang.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Reaktor Nuklir Chernobyl Meledak, 32 Orang Tewas

Risiko sampai rantai makanan

Adapun Corkhill mengatakan air yang terkontaminasi saat ini menjadi perhatian yang mendesak.

Apabila pemerintah Jepang tidak menanganinya dengan baik maka berjuta-juta meter kubik air radioaktif semuanya berpusat di situs Fukushima.

Sementara itu, Francis Livens seorang Profesor Radiokimia di Universitas Manchester mengatakan setiap pelepasan radioaktif akan membawa risiko lingkungan dan kesehatan.

Risiko ini akan berbeda-beda tergantung seberapa banyak karbon 14 yang akan dilepas ke laut.

"Orang-orang telah membuang karbon-14 ke laut selama bertahun-tahun. Semuanya tergantung pada berapa banyak yang ada, berapa banyak yang tersebar, apakah ia memasuki rantai makanan laut dan menemukan jalan kembali ke manusia?" kata Livens

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

KAI Sediakan Fitur 'Connecting Train' untuk Penumpang yang Tidak Dapat Tiket di Stasiun

KAI Sediakan Fitur "Connecting Train" untuk Penumpang yang Tidak Dapat Tiket di Stasiun

Tren
Daftar Dugaan Keterlibatan Keluarga SYL dalam Pencucian Uang, Digunakan untuk Skincare dan Renovasi Rumah

Daftar Dugaan Keterlibatan Keluarga SYL dalam Pencucian Uang, Digunakan untuk Skincare dan Renovasi Rumah

Tren
Daftar Keluarga Jokowi yang Terima Penghargaan, Terbaru Bobby Nasution

Daftar Keluarga Jokowi yang Terima Penghargaan, Terbaru Bobby Nasution

Tren
Benarkah Tidur di Kamar Tanpa Jendela Berakibat TBC? Ini Kata Dokter

Benarkah Tidur di Kamar Tanpa Jendela Berakibat TBC? Ini Kata Dokter

Tren
Ini Daftar Kenaikan HET Beras Premium dan Medium hingga 31 Mei 2024

Ini Daftar Kenaikan HET Beras Premium dan Medium hingga 31 Mei 2024

Tren
Ramai soal Nadiem Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris, Ini Kata Kemendikbud Ristek

Ramai soal Nadiem Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris, Ini Kata Kemendikbud Ristek

Tren
Media Korsel Soroti Pertemuan Hwang Seon-hong dan Shin Tae-yong di Piala Asia U23

Media Korsel Soroti Pertemuan Hwang Seon-hong dan Shin Tae-yong di Piala Asia U23

Tren
10 Ras Anjing Pendamping yang Cocok Dipelihara di Usia Tua

10 Ras Anjing Pendamping yang Cocok Dipelihara di Usia Tua

Tren
5 Manfaat Kesehatan Daging Buah Kelapa Muda, Salah Satunya Menurunkan Kolesterol

5 Manfaat Kesehatan Daging Buah Kelapa Muda, Salah Satunya Menurunkan Kolesterol

Tren
Viral, Video Sopir Bus Cekcok dengan Pengendara Motor di Purworejo, Ini Kata Polisi

Viral, Video Sopir Bus Cekcok dengan Pengendara Motor di Purworejo, Ini Kata Polisi

Tren
PDI-P Laporkan Hasil Pilpres 2024 ke PTUN Usai Putusan MK, Apa Efeknya?

PDI-P Laporkan Hasil Pilpres 2024 ke PTUN Usai Putusan MK, Apa Efeknya?

Tren
UKT Unsoed Tembus Belasan-Puluhan Juta, Kampus Sebut Mahasiswa Bisa Ajukan Keringanan

UKT Unsoed Tembus Belasan-Puluhan Juta, Kampus Sebut Mahasiswa Bisa Ajukan Keringanan

Tren
Sejarah dan Makna Setiap Warna pada Lima Cincin di Logo Olimpiade

Sejarah dan Makna Setiap Warna pada Lima Cincin di Logo Olimpiade

Tren
Ramai Anjuran Pakai Masker karena Gas Beracun SO2 Menyebar di Kalimantan, Ini Kata BMKG

Ramai Anjuran Pakai Masker karena Gas Beracun SO2 Menyebar di Kalimantan, Ini Kata BMKG

Tren
Kenya Diterjang Banjir Bandang Lebih dari Sebulan, 38 Meninggal dan Ribuan Mengungsi

Kenya Diterjang Banjir Bandang Lebih dari Sebulan, 38 Meninggal dan Ribuan Mengungsi

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com