Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kapan Pandemi Covid-19 Akan Berlalu dan Dapat Beraktivitas Secara Normal?

Kompas.com - 14/10/2020, 19:15 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sejak awal 2020 hingga kini masih belum bisa dikendalikan secara total.

Infeksi masih terus terjadi di banyak negara, bahkan di sebagian wilayah semakin tinggi.

Obat atau vaksin yang menjadi harapan bisa mengalahkan serangan virus corona juga masih dalam tahap pengembangan.

Baca juga: Calon Vaksin Covid-19 Disebutkan Segera Hadir di Indonesia, Amankah Digunakan?

Jika pun vaksin Covid-19 yang sudah dikembangkan selama berbulan-bulan ini akhirnya ditemukan, pandemi ternyata belum akan berakhir dalam sekejap mata.

Hal ini disampaikan oleh pakar epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman.

Menurutnya, vaksin bukanlah solusi tunggal mengatasi pandemi, melainkan harus ditopang dengan upaya lainnya.

"Vaksin juga memerlukan kombinasi dengan strategi lainnya seperti testing, tracing, isolasi, karantina, physical-social distancing," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com,  Rabu (14/10/2020).

Baca juga: Saat Johnson & Johnson dan Eli Lilly Hentikan Uji Coba Obat Antibodi dan Vaksin Covid-19...

Saat disinggung terkait alasan di atas, Dicky menyampaikan vaksin Covid-19 yang diprediksi akan hadir pada kuartal pertama 2021 tersebut memiliki standar evikasi minimal 50 persen.

"Artinya, setelah ada ya tidak serta merta kita bebas. Kita disuntik semua terus bebas, tidak. Dengan evikasi yang diestimasi tidak terlalu tinggi itu, ya tentunya (efektivitas vaksin) akan memerlukan kombinasi dengan 3T (testing, tracing, treatment) dan 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak) lain, ini akan memerlukan waktu, tidak bisa serta-merta," jelas dia.

Dicky menjelaskan proses ini akan memakan waktu, karena proses vaksinasi tidak hanya cukup dilakukan sekali. Belum lagi pembentukan kekebalan masal (herd immunity) yang juga memerlukan waktu.

Baca juga: Mengenal 9 Kandidat Vaksin Virus Corona

Warga menjalani swab test di GSI Lab (Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium), Cilandak, Jakarta, Sabtu (3/10/2020). Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menetapkan batas harga tertinggi swab test mandiri dengan metode real-time polymerase chain reaction (RT PCR) yaitu sebesar Rp900.000. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga Warga menjalani swab test di GSI Lab (Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium), Cilandak, Jakarta, Sabtu (3/10/2020). Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menetapkan batas harga tertinggi swab test mandiri dengan metode real-time polymerase chain reaction (RT PCR) yaitu sebesar Rp900.000. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.

Saat ditanya terkait kapan semuanya bisa kembali seperti semula dan orang-orang bisa beraktivitas dengan normal, Dicky pun tidak bisa memastikan. Pasalnya banyak faktor yang berpengaruh.

"Vaksin butuh waktu lama enggak cuma sekali, nunggu muncul herd immunity, butuh kekompakan dan sinergi semua pihak. Kalau semua itu terjadi, sampai angka kasus aktif kecil, nihil kematian dan positifity rate rendah, ya berarti mulai bisa normal," imbuh dia.

Dicky pun memberikan contoh seperti yang terjadi di Australia.

Baca juga: Saat Australia Mencoba Alternatif Pelacakan Virus Corona Melalui Selokan...

Dari media massa dan media sosial, orang-orang yang tinggal di Australia sudah bisa berkegiatan di luar rumah tanpa harus mengunakan masker.

Bukan melanggar, memang aturan tidak mewajibkan mereka untuk menggunakannya.

"Ya betul, terutama yang terbaik di negara tempat saya tinggal ini. Di Brisbanne ini aktivitas memang relatif normal, mal, resto buka dengan pengetatan. Hanya bioskop saja yang belum buka, kecuali bioskop yang outdoor," klaimnya.

Baca juga: Saat Warga Australia Khawatirkan Munculnya Gelombang Kedua Virus Corona...

Meski relatif normal, ia menyebut praktik jaga jarak masih diterapkan, begitu pula dengan aturan pengetatan, semua itu tetap diberlakukan.

Ia menjelaskan, semua hal tersebut bisa terjadi di Australia karena rendahnya kasus aktif, nihil kasus kematian dalam dua minggu berturut-turut, serta positivity rate-nya yang baik.

"Kalau di sini kasus aktifnya cuma 7 kalau di Brisbanne, positivity rate-nya di bawah 0,5 ke bawah," sebut dia.

Baca juga: Saat Johnson & Johnson dan Eli Lilly Hentikan Uji Coba Obat Antibodi dan Vaksin Covid-19...

Kerja sama semua pihak

Warga saat melintasi mural berisi pesan ajakan menggunakan masker di Cikoko, Pancoran, Jakarta Selatan, Sabtu (3/10/2020). Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta untuk mengendalikan penularan Covid-19 telah memasuki pekan ketiga.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Warga saat melintasi mural berisi pesan ajakan menggunakan masker di Cikoko, Pancoran, Jakarta Selatan, Sabtu (3/10/2020). Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta untuk mengendalikan penularan Covid-19 telah memasuki pekan ketiga.

Dari segi kuantitas, jumlah tes yang dilakukan di Australia diklaimnya sudah cukup baik.

Dari apa yang ia ketahui, ia menyebut tidak harus nihil kasus infeksi untuk akhirnya suatu wilayah bisa beraktivitas dengan relatif normal.

"Tidak mesti nol kasus itu, tapi tidak ada lonjakan yang banyak, dan terutama semua klaster teridentifikasi dan tuntas," ujarnya.

Baca juga: Calon Vaksin Covid-19 Disebutkan Segera Hadir di Indonesia, Amankah Digunakan?

Dicky menyebut apa yang terjadi dengan Australia juga dapat terjadi di Indonesia, asalkan kasusnya mulai terkendali sehingga aktivitas perlahan benar-benar berangsur normal.

Hanya saja, semua ini membutuhkan kolaborasi berbagai pihak dan sinergi berbagai kalangan.

"Tidak bisa cuma satu dua daerah saja, harus semua daerah melakukan strategi 3T dan 3M-nya secara setara, ini yang harus dilakukan. Kemungkinan ke arah sana, tentu ada Indonesia," kata Dicky.

Baca juga: Benarkah Vaksin Covid-19 Siap pada Januari 2021?

Lebih lanjut, Dicky menyebut Indonesia sebenarnya sudah memiliki cukup kemampuan untuk mengatasi wabah penyakit semacam ini.

"Indonesia ini punya pengalaman banyak dalam melewati epidemi dan mengendalikan epidemi, pandemi, di beberapa pandemi yang terjadi sebelumnya. Artinya kemampuan itu ada, tinggal di sini adalah kemauan," ungkap Dicky.

"Kemauan secara politik, hubungan kolaborasi, pemerintah, masyarakat, semua sektor. Ini yang harus dilakukan," pungkas dia.

Baca juga: Menengok Bagaimana Ebola Membantu Afrika Menghadapi Virus Corona...

Sulit diprediksi

Sebelumnya, pakar epidemiolog Unair Dr Windhu Purnomo mengatakan virus corona yang ada di Indonesia masih sulit diprediksi kapan berakhirnya.

Hal itu menyusul data yang selalu berubah-ubah di setiap waktunya.

Salah satunya lantaran kebijakan yang tidak konsisten.

Baca juga: Obesitas, Covid-19, dan Meningkatnya Risiko Kematian...

Apabila kebijakan yang diambil longgar, maka banyak masyarakat yang tidak disiplin sehingga kasus dapat kembali naik.

Sebaliknya, bila kebijakan yang diambil ketat, maka masyarakat dapat disiplin dan kasusnya akan turun.

"Prediksi itu kan mesti pake asumsi-asumsi, asumsinya kalau keadaannya seperti ini, nanti puncaknya akan kapan, dan turunnya kapan. Tapi kalau datanya berubah, ya harus diulang lagi," jelas dia.

"Ya susah ini, apalagi di negeri seperti kita ini yang kebijakannya terus berubah. Jadi kita enggak tahu kapan akan berakhir," ucap Windhu kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.

Baca juga: Mengenal 9 Kandidat Vaksin Virus Corona

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com