KOMPAS.com – Omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan DPR RI pada Senin (5/10/2020) menuai pro dan kontra di masyarakat.
Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) pun secara resmi mengeluarkan pernyataan sikapnya terhadap UU tersebut.
Pernyataan sikap ditandatangani Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini pada tanggal 8 Oktober 2020.
Dalam salah satu poin, NU menegaskan siap bersama dengan pihak yang akan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Soal UU Cipta Kerja, NU Bersama Pihak yang Berupaya Tempuh Jalur Konstitusional
Berikut ini 8 poin pernyataan sikap NU terhadap UU Cipta Kerja:
1. NU menghargai setiap upaya yang dilakukan negara unuk memenuhi hak dasar warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Hal ini karena lapangan pekerjaan tercipta dengan tersedianya kesempatan berusaha.
Sedangkan kesempatan berusaha tumbuh bersama iklim usaha yang baik dan kondusif. Iklim usaha yang baik membutuhkan kemudahan izin dan simplisitas birokrasi.
Adapun, UU Cipta Kerja dimaksudkan menarik investasi dengan harapan dapat memperbanyak lapangan pekerjaan dan menyalurkan bonus demografi, sehingga dapat mengungkit pertumbuhan serta keluar dari jebakan negara berpenghasilan rendah.
2. Namun, NU menyesalkan proses legislasi UU Cipta Kerja yang terburu-buru, tertutup, dan enggan membuka diri terhadap aspirasi publik.
Menurut NU, mengatur bidang yang sangat luas yang mencakup 76 UU seharusnya dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian, dan partisipasi luas para pemangku kepentingan.
NU menilai memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik di masa pandemi virus corona adalah bentuk praktik kenegaraan yang buruk.
Baca juga: PBNU Sesalkan Proses Legislasi UU Cipta Kerja Terburu-buru
3. NU menyesalkan munculnya Pasal 65 UU Cipta Kerja yang memasukkan pendidikan ke dalam bidang terbuka terhadap perizinan berusaha.
NU mengkhawatirkan ini akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitalisme pendidikan.
Sehingga, pada gilirannya, dikhawatirkan pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berpunya.