"Misalnya PBB, dalam kondisi kayak gini, biar didiskon, orang enggak ada duitnya, mau bayar pakai apa? Apakah mau sementara waktu ditunda, digeser ke tahun depan, jadi orang cashflow-nya enggak tertekan," harap Haryadi.
Pihaknya menyebut, sektor perhotelan juga sangat tergantung pada penanganan Covid-19.
Menurutnya apabila melihat parameter kalau rumah sakit rujukan penuh, pasti akan diberlakukan PSBB.
"Itu yang membuat semua bisnis, tidak hanya hotel, menjadi semakin berat," ujar Haryadi.
Pihaknya tidak mempermasalahkan adanya kebijakan PSBB yang diambil oleh pemerintah daerah, namun ia berharap, penanganan Covid-19 bisa lebih optimal.
"Sebenernya enggak bisa disalahin juga ya, namanya pandemi, kalau dibiarkan juga bahaya. Yang jadi masalah adalah di penanganan Covid-19 itu sendiri," sebutnya.
"Kita kan berharapnya suffer itu sekali tapi tuntas," lanjutnya.
Baca juga: 70 Persen GM Hotel Terdampak Pandemi, Siap Wirausaha jika Di-PHK
Direktur Utama Sahid Hotel dan Resort ini menekankan pentingnya arah pengawasan yang diberikan oleh pemerintah.
"Pemerintah seharusnya bukan mengurus pihak yang sudah melakukan protokol yang baik dan pengawasan yang ketat seperti hotel dan mall," tutur Haryadi.
"Jadi yang harusnya bisa diawasi diberikan kelonggaran, yang justru enggak bisa diawasin harus diawasin ketat," tambah dia.
Terpengaruh PSBB Jakarta
Deddy menyebut, kondisi bisnis perhotelan di DIY memang sempat turun drastis pada masa awal pandemi.
Namun perlahan menunjukkan perbaikan memasuki pertengahan tahun, seiring sejumlah kelonggaran yang diberikan Pemerintah pada masyarakat.
Pada bulan Agustus, Deddy menyebut tingkat okupansi kamar hotel bisa mencapai rata-rata 60-70 persen.
Akan tetapi, angka itu kembali merosot saat ini, bertepatan dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Pengetatan oleh Pemprov DKI Jakarta.