KOMPAS.com – Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) melakukan analisis terhadap banjir bandang yang terjadi di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, menggunakan data dari satelit penginderaan jauh.
Peristiwa banjir bandang terjadi di Cicurug, Sukabumi, terjadi pada Senin (21/9/2020).
Akibat bencana ini dua orang tewas, dan seorang warga lain masih belum ditemukan hingga Rabu (23/9/2020).
analisis yang dilakukan Lapan meliputi kondisi curah hujan saat terjadinya banjir dan analisis perubahan penutup lahan sebagai daya dukung lingkungan serta analisis kondisi iklim global.
“Intensitas curah hujan (sedang hingga lebat), durasi hujan (sekitar 3 jam) serta wilayah cakupan hujan yang cukup luas di bagian hulu (Bogor dan Sukabumi) hingga tengah dari aliran sungai Ciliwung, diduga menjadi penyebab banjir bandang di wilayah Sukabumi dan Bogor, serta banjir di wilayah Jakarta,” Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Dr M. Rokhis Khomarudin dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Kamis (24/9/2020).
Baca juga: BNPB Ungkap Penyebab Banjir Bandang Sukabumi, Akibat Sedimentasi Sungai dan Hujan Lebat
Dari analisis Lapan, awan hujan mulai terlihat di wilayah Sukabumi bagian barat daya sejak pukul 14.40 WIB dan semakin meluas di wilayah Sukabumi, Purwakarta, dan Bogor pada pukul 15.40 WIB dengan intensitas sedang (5-10 mm/jam).
Pada pukul 15.40-17.50 WIB, awan hujan intensitasnya meningkat sedang hingga lebat (10-20 mm/jam) dan meluas di hampir seluruh wilayah Sukabumi, Bogor, dan Purwakarta.
Intensitas hujan kemudian mulai berkurang pada pukul 18.40 WIB dengan intensitas sedang hingga hujan ringan pada pukul 19.20 WIB (kurang ari 5 mm/jam).
Intensitas hujan dengan intensitas ringan hingga sangat ringan (kurang dari 1 mm/jam) kemudian bergerak menuju barat laut Provinsi Banten (Serang, Tangeraang dan sekitarnya) pada pukul 19.30-20.50 WIB.
Hasil pantauan curah hujan menggunakan platform SADEWA yang dikembangkan Lapan menurutnya juga menunjukkan hal serupa.
Selain terhadap curah hujan, analisis juga dilakukan terhadap perubahan penutup lahan dari data citra mosaik Landsat tahun 2010 dan 2020 (10 tahun) di DAS Cimandiri.
Dari haril analisis Tim Tanggap Darurat Bencana Deputi Bidang Penginderaan Jauh Lapan, hasil analisis menunjukkan adanya:
Baca juga: Banjir Bandang di Tengah Musim Kemarau, Mengapa Bisa Terjadi?
“Penambahan luas ladang/tegalan dan juga pemukiman secara umum dapat mengurangi resapan air dan meningkatkan jumlah air limpasan sehingga meningkatkan jumlah debit aliran sungai di DAS Cimandiri,” ujar Rokhis.
Lapan juga melakukan analisisnya terhadap data suhu permukaan laut di Pasifik yang menunjukkan LaNina sudah teraktivasi di Pasifik Timur.
Ia mengatakan, dampaknya untuk Indonesia kemungkinan frekuensi dan curah hujan dalam bulan-bulan ke depan hingga April nanti akan jauh lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Kondisi iklim global LaNina ini perlu diwaspadai adanya peningkatan curah hujan di beberapa wilayah dan jika daya dukung lingkunganya tidak baik, maka bisa menyebabkan banjir,” ujar Rokhis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.