Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Disebut di Bawah Sistem Politik Kebangsawanan, Seperti Apa Penjelasannya?

Kompas.com - 15/09/2020, 09:05 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Politik hari ini lekat maknanya dengan urusan pemerintahan dan kenegaraan. Soal para pejabat, birokrasi, partai, dan sebagainya.

Kondisinya sangat cair dan dinamis. Namun, politik bisa saja berubah dengan begitu cepat tergantung dengan situasi dan kepentingan ketika itu.

Indonesia menganut sistem politik demokratis, di mana pemerintahan diyakini dari, oleh, dan untuk rakyat. 

Baca juga: Artis Masuk Politik, Haruskah Miliki Bekal Ilmu dan Pengalaman?

Namun, ditilik dari kacamata sosiologi, ada "sistem" tak tertulis lain yang sesungguhnya sedang berjalan saat ini, namanya politik kebangsawanan atau royal politics.

Pandangan ini disampaikan oleh sosiolog dari Universitas Negeri Surakarta (UNS), Drajat Tri Kartono.

"Kondisi perkembangan politik Indonesia sekarang itu namanya adalah royal politic, politik kelompok bangsawan," kata Drajat kepada Kompas.com, baru-baru ini.

Baca juga: Pandemi Corona Masih Berlangsung, Mungkinkah Pilkada Ditunda?

Biaya politik yang mahal

Ada dua ciri yang bisa dilihat dari politik kebangsawanan, ciri pertama adalah posisi politik yang diduduki oleh para elit dan kalangan berada secara ekonomi.

"Yang bermain di politik itu adalah kelas atas, enggak bisa dimasuki oleh ekonomi kelas bawah, karena ada biaya politik yang mahal. Biaya kampanye, untuk bayar partai politik, dan sebagainya. Yang ini biasa juga disebut plutokrasi," jelas Drajat.

Ciri yang kedua adalah kondisi politik di mana kehormatan lebih diutamakan daripada kompetensi.

"Cirinya adalah sangat menjaga dan menghormati kehormatan, representasinya, kehadirannya merupakan sesuatu yang sangat dihormati banyak orang. Jadi kehormatan jauh lebih penting dari kompetensi," papar dia.

Baca juga: Sudah Tahu Aturan Pilkada Saat Pandemi? Ini Bedanya dari Tahun Lalu

Drajat menyebut, di kondisi perpolitikan yang semacam itu, pencitraan dan kebaikan reputasi dinomorsatukan.

Seorang pejabat atau pemimpin penting untuk terlihat peduli dan mengerti pada permasalahan rakyatnya.

Meski pada praktiknya tidak demikian, itu tidak menjadi soal, karena orang sudah menghormati sosoknya.

Baca juga: Deretan Artis yang Telah Mendaftar Pilkada 2020

Jika sudah begini, maka posisi elit sulit digoyahkan secara sistematis.

"Ya mau ganti apa, wong yang di bawah tidak punya apa-apa (ekonomi dan kewibawaan), tidak bisa diganti," ujar Drajat.

"Maka untuk bisa menggantikan orang yang kaya dan sudah dihormati banyak orang tadi yaitu satu, bukan melalui jalan politik, demokrasi, karena nanti pasti akan kalah, tetapi melalui menjelekkan nama baik," lanjutnya.

Baca juga: Langkah Mulus Gibran dalam Pencalonan Pilkada Solo 2020...

Bahasa sosiologi menyebutnya sebagai kekakuan struktural dalam sirkulasi elit politik. Ada hambatan struktural yang terjadi sehingga para elit sulit dijatuhkan.

"Puan Maharani misalnya, itu kan enggak bisa digulingkan, karena dia orang yang kaya dan sudah banyak dihormati oleh orang PDI ya tidak bisa diturunkan, maka untuk menghancurkan dia ya (melalui menjatuhkan) reputasi nama baik," Drajat mencontohkan.

Begitu pula dengan Megawati yang menjadi pimpinan tertinggi partai tersebut. Status kehormatannya sudah begitu tinggi, jika ia digoyang, otomatis siapa pun yang ada di bawahnya akan terdampak.

Siapa saja akan mengalami proses ini dalam politik kebangsawanan.

Baca juga: Menilik Safari Politik Prabowo, dari Megawati hingga Cak Imin

Drajat kembali mencontohkan Presiden Joko Widodo. Sosoknya sudah sangat dihormati oleh rakyat Indonesia, ia tidak bisa dikalahkan melalui jalur demokrasi, misalnya pemilu.

Maka, banyak orang akan mencoba menggoncangnya dari sisi identitas. Banyak celah digunakan untuk melakukan serangan.

Sayangnya, serangan ini tidak selalu pada kinerjanya, namun juga pada sosoknya, pribadinya.

"Royal politics, politik kebangsawanan ini sedang terjadi di Indonesia," ucap dia.

Baca juga: Jokowi di Tengah Jepitan Pandemi dan Ancaman Resesi

Drajat melihat saat ini politik tidak bisa dikendalikan dan dikuasai elit-elit ekonomi. Mereka sudah membangun relasi atau klik-klik berdasarkan relasi kehormatan sebagaimana disebutkan tadi.

Sebelumnya, Indonesia ada dalam sistem politik yang dikendalikan oleh rezim. Ini terjadi pada masa pemerintahan Soeharto.

Sementara di masa pemerintahan Soekarno, sistem politik lebih pada politik yang terpimpin, karena Presiden ke-1 RI itu menjadi simbol paling menarik di masa itu sehingga menjadi sentral.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Soeharto Dilantik sebagai Presiden RI Gantikan Soekarno

Kekurangan dan kelebihan politik kebangsaan

Sistem semacam ini tentu menawarkan kelebihan dan kekurangannya.

Dari segi kekurangan, Drajat menyebut politik kebangsawanan ini tidak luwes dan tidak terbuka, orang yang tidak memiliki kehormatan dan kemampuan ekonomi, sulit untuk menembus masuk.

"Ini sulit sebenarnya mengharapkan orang yang betul-betul pintar, betul-betul bertanggung jawab masuk ke ranah itu (politik) kalau dia tidak memiliki dua itu (kehormatan dan kekayaan)," kata Drajat.

Baca juga: Saat Majunya Gibran Bisa Timbulkan Kecemburuan Kader Partai...

Selain itu, kekurangan sistem ini adalah dekatnya kepentingan ekonomi dan politik akibat dikuasai oleh orang-orang yang ada dalam lingkaran yang sama.

Akibatnya, kebijakan politik yang diambil bisa dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi yang ada, dan sebaliknya.

Namun ada satu kelebihan dari royal politics ini, yakni pemerintahan yang cenderung stabil, karena sulit digoyahkan.

Baca juga: Langkah Mulus Gibran dalam Pencalonan Pilkada Solo 2020...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Benarkah Tidur di Kamar Tanpa Jendela Sebabkan TBC? Ini Kata Dokter

Benarkah Tidur di Kamar Tanpa Jendela Sebabkan TBC? Ini Kata Dokter

Tren
Ini Daftar Kenaikan HET Beras Premium dan Medium hingga 31 Mei 2024

Ini Daftar Kenaikan HET Beras Premium dan Medium hingga 31 Mei 2024

Tren
Ramai soal Nadiem Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris, Ini Kata Kemendikbud Ristek

Ramai soal Nadiem Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris, Ini Kata Kemendikbud Ristek

Tren
Media Korsel Soroti Pertemuan Hwang Seon-hong dan Shin Tae-yong di Piala Asia U23

Media Korsel Soroti Pertemuan Hwang Seon-hong dan Shin Tae-yong di Piala Asia U23

Tren
10 Ras Anjing Pendamping yang Cocok Dipelihara di Usia Tua

10 Ras Anjing Pendamping yang Cocok Dipelihara di Usia Tua

Tren
5 Manfaat Kesehatan Daging Buah Kelapa Muda, Salah Satunya Menurunkan Kolesterol

5 Manfaat Kesehatan Daging Buah Kelapa Muda, Salah Satunya Menurunkan Kolesterol

Tren
Viral, Video Sopir Bus Cekcok dengan Pengendara Motor di Purworejo, Ini Kata Polisi

Viral, Video Sopir Bus Cekcok dengan Pengendara Motor di Purworejo, Ini Kata Polisi

Tren
PDI-P Laporkan Hasil Pilpres 2024 ke PTUN Usai Putusan MK, Apa Efeknya?

PDI-P Laporkan Hasil Pilpres 2024 ke PTUN Usai Putusan MK, Apa Efeknya?

Tren
UKT Unsoed Tembus Belasan-Puluhan Juta, Kampus Sebut Mahasiswa Bisa Ajukan Keringanan

UKT Unsoed Tembus Belasan-Puluhan Juta, Kampus Sebut Mahasiswa Bisa Ajukan Keringanan

Tren
Sejarah dan Makna Setiap Warna pada Lima Cincin di Logo Olimpiade

Sejarah dan Makna Setiap Warna pada Lima Cincin di Logo Olimpiade

Tren
Ramai Anjuran Pakai Masker karena Gas Beracun SO2 Menyebar di Kalimantan, Ini Kata BMKG

Ramai Anjuran Pakai Masker karena Gas Beracun SO2 Menyebar di Kalimantan, Ini Kata BMKG

Tren
Kenya Diterjang Banjir Bandang Lebih dari Sebulan, 38 Meninggal dan Ribuan Mengungsi

Kenya Diterjang Banjir Bandang Lebih dari Sebulan, 38 Meninggal dan Ribuan Mengungsi

Tren
Dari Jakarta ke Penang, WNI Akhirnya Berhasil Obati Katarak di Korea

Dari Jakarta ke Penang, WNI Akhirnya Berhasil Obati Katarak di Korea

Tren
Warganet Kaitkan Kenaikan UKT Unsoed dengan Peralihan Menuju PTN-BH, Ini Penjelasan Kampus

Warganet Kaitkan Kenaikan UKT Unsoed dengan Peralihan Menuju PTN-BH, Ini Penjelasan Kampus

Tren
Israel Diduga Gunakan WhatsApp untuk Targetkan Serangan ke Palestina

Israel Diduga Gunakan WhatsApp untuk Targetkan Serangan ke Palestina

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com