Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnu Nugroho
Pemimpin Redaksi Kompas.com

Wartawan Kompas. Pernah bertugas di Surabaya, Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Jakarta dengan kegembiraan tetap sama: bersepeda. Menulis sejumlah buku tidak penting.

Tidak semua upaya baik lekas mewujud. Panjang umur upaya-upaya baik ~ @beginu

25 Tahun Kompas.com dan Cita-cita Jakob Oetama

Kompas.com - 14/09/2020, 09:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Cara dan sarana bukan prinsip

Tidak banyak yang tahu bahwa dalam perjalanannya sejak didirikan 28 Juni 1965, harian Kompas pernah dua kali dilarang terbit oleh penguasa. Pertama bersama semua media massa pada 2-5 Oktober 1965 dan kedua bersama tujuh media massa lain pada 21 Januari 1978.

Sejarah ini tidak jadi ingatan publik karena bukan peristiwa heroik. Namun, karena peristiwa ini, khususnya pembredelan kedua, harian Kompas tumbuh dengan karakter yang dirawat hingga hari ini.

Terhadap pembredelan 1978 yang tanpa batas waktu itu, Jakob berpandangan: “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, di antaranya melalui media massa.”

Teguh dalam perkara lentur dalam cara (fortiter in re suaviter in modo) ditegaskan Jakob Oetama dalam pandangan dan tindakannya. Setelah permintaan maaf dan janji dinyatakan di hadapan pemegang kekuasaan, harian Kompas kembali terbit pada 6 Februari 1978.

Tiga hari kemudian, Hari Pers Nasional ke-32 yang jatuh pada 9 Februari 1978 diperingati di Solo. Di acara para wartawan berjabat tangan dengan Presiden, ketika tiba giliran Jakob Oetama, Soeharto menyambut uluran tangannya sambil berkata, “Aja meneh-meneh!” (jangan lagi-lagi).

Singkat, padat, menyentak dan terus menerus diingat. Para senior di harian Kompas mengisahkan ucapan Soeharto yang singkat, padat, menyentak dan terus menerus diingat ini. Salah satunya J Osdar, wartawan senior harian Kompas yang bertugas di Istana Kepresidenan sejak era Soeharto hingga Joko Widodo.

Karena ingatan ini, saya menjadi paham kenapa pada suatu siang Jakob Oetama menelepon saya dari Jakarta. Saat itu, Agustus 2010, saya bertugas sebagai Wakil Kepala Biro Kompas di Yogyakarta setelah 5 tahun sebelumnya menjadi wartawan Istana Kepresidenan (2004-2009).

Saat di Yogyakarta, buku berjudul "Pak Beye dan Istananya" dalam rangkaian seri Tetralogi Sisi Lain SBY diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Buku pertama diluncurkan 4 Agustus 2010, dua bulan setelah ulang tahun harian Kompas ke-45.

Saat panggilan telepon masuk dari Jakarta, saya sedang mengayuh sepeda dari rumah di utara menuju Kantor Kompas di kawasan Kotabaru. Banyak panggilan tak terjawab membuat saya berhenti bersepeda dan mencari tempat aman untuk menerimanya.

Nomor-nomor yang masuk tidak saya kenal karena pakai nomor kantor. Saya tunggu beberapa saat untuk kemudian saya angkat telepon berikutnya yang masuk.

Dari kejauhan, terdengar suara perempuan yang kemudian saya ketahui adalah sekretaris Jakob Oetama, Etty Sri Marianingsih. Etty langsung memberi tahu bahwa Jakob Oetama hendak bicara.

Saya tarik nafas panjang karena perjalanan sepeda yang terhenti sambil menunggu suara Jakob Oetama dari Jakarta. Meskipun singkat jedanya, saya deg-degan juga saat menunggu.

Tidak banyak yang dikatakan. Jakob Oetama yang selalu kami panggil Pak Jakob menanyakan kabar. Ia memberi apresiasi atas buku yang diterbitkan dari tulisan di blog kompasiana. Terakhir ia memastikan kondisi saya setelah buku soal sisi lain Istana dan penguasanya itu ludes di pasaran seminggu setelah diluncurkan.

"Mas, baik-baik saja kan?" ujar Jakob Oetama yang saya panggil Bapak memastikan. 

Saya kebingungan menjawab pertanyaan itu karena tidak terlalu paham konteks pertanyaan secara keseluruhan. Ingatan sejarah yang bersinggungan dengan kekuasaan kemudian saya ketahui menjadi landasan pertanyaan itu. 

Halaman:

Terkini Lainnya

Profil Shaun Evans, Wasit Indonesia vs Korsel Piala Asia U23 2024

Profil Shaun Evans, Wasit Indonesia vs Korsel Piala Asia U23 2024

Tren
Kenya Diterjang Banjir Bandang, KBRI Pastikan Kondisi WNI Aman

Kenya Diterjang Banjir Bandang, KBRI Pastikan Kondisi WNI Aman

Tren
Jadwal Festival Lampion Waisak Borobudur 2024, Tukar Tiket Mulai Mei

Jadwal Festival Lampion Waisak Borobudur 2024, Tukar Tiket Mulai Mei

Tren
Penelitian Menemukan Bagaimana Kucing Menghasilkan Suara Dengkuran Uniknya

Penelitian Menemukan Bagaimana Kucing Menghasilkan Suara Dengkuran Uniknya

Tren
Daftar Pelatih Timnas Indonesia dari Masa ke Masa, Shin Tae-yong Paling Lama

Daftar Pelatih Timnas Indonesia dari Masa ke Masa, Shin Tae-yong Paling Lama

Tren
Belum Terjual, Mobil Mario Dandy Dilelang mulai Rp 809 Juta, Simak Cara Belinya

Belum Terjual, Mobil Mario Dandy Dilelang mulai Rp 809 Juta, Simak Cara Belinya

Tren
Indonesia Vs Korea Selatan di Piala Asia U23, Shin Tae-yong dan Pratama Arhan Akan Hadapi Rekannya

Indonesia Vs Korea Selatan di Piala Asia U23, Shin Tae-yong dan Pratama Arhan Akan Hadapi Rekannya

Tren
Jadwal dan Live Streaming Indonesia Vs Korea Selatan di Piala Asia U23, Kick Off 00.30 WIB

Jadwal dan Live Streaming Indonesia Vs Korea Selatan di Piala Asia U23, Kick Off 00.30 WIB

Tren
Kronologi Perampok Sebar Uang Curian Rp 250 Juta untuk Mengecoh Kejaran Warga di Jambi

Kronologi Perampok Sebar Uang Curian Rp 250 Juta untuk Mengecoh Kejaran Warga di Jambi

Tren
20 Negara Penduduk Terbanyak di Dunia 2024, Indonesia Nomor Berapa?

20 Negara Penduduk Terbanyak di Dunia 2024, Indonesia Nomor Berapa?

Tren
Ilmuwan Akhirnya Tahu Apa Isi Bulan, Disebut Mirip dengan Bumi

Ilmuwan Akhirnya Tahu Apa Isi Bulan, Disebut Mirip dengan Bumi

Tren
14 Kepala Daerah Penerima Satyalancana dari Jokowi, Ada Bobby tapi Gibran Batal Hadir

14 Kepala Daerah Penerima Satyalancana dari Jokowi, Ada Bobby tapi Gibran Batal Hadir

Tren
KAI Sediakan Fitur 'Connecting Train' untuk Penumpang yang Tidak Dapat Tiket di Stasiun

KAI Sediakan Fitur "Connecting Train" untuk Penumpang yang Tidak Dapat Tiket di Stasiun

Tren
Daftar Dugaan Keterlibatan Keluarga SYL dalam Pencucian Uang, Digunakan untuk Skincare dan Renovasi Rumah

Daftar Dugaan Keterlibatan Keluarga SYL dalam Pencucian Uang, Digunakan untuk Skincare dan Renovasi Rumah

Tren
Daftar Keluarga Jokowi yang Terima Penghargaan, Terbaru Bobby Nasution

Daftar Keluarga Jokowi yang Terima Penghargaan, Terbaru Bobby Nasution

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com