Tidak banyak yang tahu bahwa dalam perjalanannya sejak didirikan 28 Juni 1965, harian Kompas pernah dua kali dilarang terbit oleh penguasa. Pertama bersama semua media massa pada 2-5 Oktober 1965 dan kedua bersama tujuh media massa lain pada 21 Januari 1978.
Sejarah ini tidak jadi ingatan publik karena bukan peristiwa heroik. Namun, karena peristiwa ini, khususnya pembredelan kedua, harian Kompas tumbuh dengan karakter yang dirawat hingga hari ini.
Terhadap pembredelan 1978 yang tanpa batas waktu itu, Jakob berpandangan: “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, di antaranya melalui media massa.”
Teguh dalam perkara lentur dalam cara (fortiter in re suaviter in modo) ditegaskan Jakob Oetama dalam pandangan dan tindakannya. Setelah permintaan maaf dan janji dinyatakan di hadapan pemegang kekuasaan, harian Kompas kembali terbit pada 6 Februari 1978.
Tiga hari kemudian, Hari Pers Nasional ke-32 yang jatuh pada 9 Februari 1978 diperingati di Solo. Di acara para wartawan berjabat tangan dengan Presiden, ketika tiba giliran Jakob Oetama, Soeharto menyambut uluran tangannya sambil berkata, “Aja meneh-meneh!” (jangan lagi-lagi).
Singkat, padat, menyentak dan terus menerus diingat. Para senior di harian Kompas mengisahkan ucapan Soeharto yang singkat, padat, menyentak dan terus menerus diingat ini. Salah satunya J Osdar, wartawan senior harian Kompas yang bertugas di Istana Kepresidenan sejak era Soeharto hingga Joko Widodo.
Karena ingatan ini, saya menjadi paham kenapa pada suatu siang Jakob Oetama menelepon saya dari Jakarta. Saat itu, Agustus 2010, saya bertugas sebagai Wakil Kepala Biro Kompas di Yogyakarta setelah 5 tahun sebelumnya menjadi wartawan Istana Kepresidenan (2004-2009).
Saat di Yogyakarta, buku berjudul "Pak Beye dan Istananya" dalam rangkaian seri Tetralogi Sisi Lain SBY diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Buku pertama diluncurkan 4 Agustus 2010, dua bulan setelah ulang tahun harian Kompas ke-45.
Saat panggilan telepon masuk dari Jakarta, saya sedang mengayuh sepeda dari rumah di utara menuju Kantor Kompas di kawasan Kotabaru. Banyak panggilan tak terjawab membuat saya berhenti bersepeda dan mencari tempat aman untuk menerimanya.
Nomor-nomor yang masuk tidak saya kenal karena pakai nomor kantor. Saya tunggu beberapa saat untuk kemudian saya angkat telepon berikutnya yang masuk.
Dari kejauhan, terdengar suara perempuan yang kemudian saya ketahui adalah sekretaris Jakob Oetama, Etty Sri Marianingsih. Etty langsung memberi tahu bahwa Jakob Oetama hendak bicara.
Saya tarik nafas panjang karena perjalanan sepeda yang terhenti sambil menunggu suara Jakob Oetama dari Jakarta. Meskipun singkat jedanya, saya deg-degan juga saat menunggu.
Tidak banyak yang dikatakan. Jakob Oetama yang selalu kami panggil Pak Jakob menanyakan kabar. Ia memberi apresiasi atas buku yang diterbitkan dari tulisan di blog kompasiana. Terakhir ia memastikan kondisi saya setelah buku soal sisi lain Istana dan penguasanya itu ludes di pasaran seminggu setelah diluncurkan.
"Mas, baik-baik saja kan?" ujar Jakob Oetama yang saya panggil Bapak memastikan.
Saya kebingungan menjawab pertanyaan itu karena tidak terlalu paham konteks pertanyaan secara keseluruhan. Ingatan sejarah yang bersinggungan dengan kekuasaan kemudian saya ketahui menjadi landasan pertanyaan itu.