KOMPAS.com - Ada yang berbeda dengan proses lelang jabatan aparatur sipil negara (ASN) di lingkup pemerintah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Sebab ASN yang akan mengisi jabatan di eselon II, III, dan IV itu diminta untuk menjalani tes kompetensi membaca Al Quran.
Terdapat 76 ASN yang mengikuti uji kompetensi ini, 14 di antaranya dinyatakan belum fasih dan diberi waktu 6 bulan untuk kembali berlatih.
Jika dalam waktu yang diberikan ASN yang bersangkutan masih juga belum dinyatakan fasih, maka sesuai perjanjian yang disepakati sebelumnya, mereka akan dicopot.
Bupati Gowa, menyebut seleksi ini sudah atas seizin Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Baca juga: Tes Baca Al Quran di Lelang Jabatan, Bupati Gowa Sebut Dapat Izin dari Kementerian Dalam Negeri
Menanggapi hal ini, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, mempertanyakan proses seleksi yang dilakukan oleh Pemkab Gowa.
"Dasarnya apa ya? Apa ada Perdanya?," ujar Bivitri, Rabu (2/9/2020) petang.
Pihaknya menyebut, kebijakan seperti itu semestinya tidak dilakukan karena berpotensi melanggar prinsip meritokrasi yang diatur dalam undang-undang.
"Konsep lelang jabatan ini kan sebenarnya dasar pemikirannya adalah prinsip meritrokasi atau sistem merit menurut Pasal 1 angka 22 UU ASN. Sistem merit sebenarnya menekankan pentingnya pemenuhan kompetensi sesuai dengan suatu pekerjaan, untuk bisa menduduki suatu jabatan," jelasnya.
"Fungsi pemerintahan itu tidak ada hubungannya dengan kelancaran membaca Al Quran, jadi sebenarnya tidak boleh ada aturan seperti ini," lanjut salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini.
Secara tekstual, dia menyebut memang tidak ada peraturan yang dilanggar. Tetapi uji kompetensi semacam ini melanggar prinsip meritokrasi yang ada.
Baca juga: Tak Fasih Baca Al Quran, Belasan Pejabat di Gowa Terancam Dicopot
Dia mengatakan tidak ada hubungan antara tugas sebagai pelayan publik dengan membaca Al Quran.
"Bahkan, nilai-nilai penyelenggaraan pemerntahan pun tidak ada hubungannya dengan ketaatan beragama secara tekstual seperti membaca Al Quran, yang harusnya jadi pedoman adalah nilai-nilai moral seseorang," ujarnya.
Untuk mengukur moral terebut, Bivitri mengatakan sudah ada banyak alat ukur modern yang bisa digunakan.
Sementara kefasihan dalam membaca Al Quran, menurutnya bukan lah ada di ranah hukum dan publik, melainkan urusan pribadi seseorang dengan keyakinan yang diimaninya.
"Meskipun tidak melanggar secara tekstual, peraturan yang semacam ini diskriminatif karena menutup kemungkinan orang yang beragama selain Islam untuk menduduki jabatan yang dilelang itu," ucapnya.
Dosen di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera ini menjelaskan ada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Nah salah satu AUPB adalah ketidakberpihakan atau nondiskriminatif," jelasnya.
Baca juga: 14 ASN Tak Fasih Baca Al Quran Saat Seleksi Jabatan, Bupati Gowa: Belajar Lagi 6 Bulan
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.