Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Sapardi Djoko Darmono dan Masa Depan Kesusasteraan Indonesia

Kompas.com - 31/08/2020, 10:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


JIKA berbicara tentang sastra, kita tentu saja akan berpikir tentang buku-buku tebal yang dituliskan oleh seorang pengarang atau sastrawan dengan menggunakan gaya bahasa puitis—romantis-dramatis dan mengandung pesan moral di dalamnya.

Sebagai sebuah seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Danziger & Johnson, 1961), sastra kerap memotret fenomena sosial dan budaya yang terjadi di sekitar kita.

Artinya, sastra menyimpan suatu jenis pengetahuan tertentu yang memperkaya wawasan pembacanya tentang suatu hal dalam rentang konteks tertentu.

Mengapa karya sastra diciptakan sepanjang sejarah kehidupan manusia? Jawaban sederhananya adalah karena sastra diperlukan oleh manusia.

Selain menghibur dengan cara menyajikan keindahan dan makna kehidupan, sastra juga berfungsi menyimpan memori sejarah dan pengetahuan lainnya karena dalam setiap periodisasi sejarah tertentu sastra selalu ada.

Misalnya ketika membaca novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, kita akan membayangkan bagaimana representasi sosial budaya di era kolonial.

Selain itu, kita juga dapat melihat kritik sosial yang tajam terhadap pemerintahan rezim Orde Baru dalam syair-syair W.S. Rendra.

Merujuk pada hal ini, sastra tidak melulu romantis melainkan juga kritis bahkan bisa juga dianggap “berbahaya” karena sastra bisa berfungsi sebagai sarana komunikasi bagi seorang pengarang untuk menyampaikan pesan tertentu kepada masyarakat.

Sapardi Djoko Damono dalam kesusasteraan Indonesia

Berbicara tentang sastra Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia pasti mengenal sosok penyair bernama Sapardi Djoko Damono atau yang akrab dipanggil dengan sebutan SDD.

Lahir di Surakarta, 20 Maret 1940, SDD ini adalah seorang pujangga, sastrawan, dosen, guru besar, akademisi, penulis buku, kritikus dan pengamat sastra. Meskipun namanya sudah besar, banyak orang mengenal SDD sebagai pribadi yang cerdas namun rendah hati.

Meraih gelar sarjana sastra di UGM (1964) dan menempuh studi di Universitas Hawaii-Honolulu (1970-1971), SDD sangat produktif menulis puisi, novel, kritik sastra, maupun buku.

Karya-karyanya antara lain puisi Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Hujan Bulan Juni (1994) dan masih banyak lagi. Selain itu ia juga aktif menerjemahkan beberapa novel sastra Inggris seperti The Grapes of Wrath karya John Steinback, The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway.

SDD juga pernah aktif menulis di berbagai majalah dan surat kabar. Ia juga banyak menerima penghargaan nasional maupun internasional. Di antaranya, ia meraih Cultural Award pada tahun 1978 di Australia, Anugerah Puisi Putra tahun 1983 di Malaysia, dan masih banyak lagi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com