AKUN twitter epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono diretas. Kuat dugaan, peretasan ini terkait cuitan Pandu perihal obat Covid-19 temuan Universitas Airlangga, BIN dan TNI AD.
Peretasan juga menimpa media massa. Laman berita nasional Tempo.co diretas pada Jumat (21/8/2020) dini hari sekitar pukul 00.30 WIB. Sebelum peretasan terjadi, koran Tempo dan Tempo.co rajin menulis dan mengkritik soal penggunaan influencer untuk kampanye Omnibus Law.
Tak hanya Tempo, peretasan juga terjadi di Tirto.id. Sejumlah artikel di media online ini tiba-tiba tidak bisa diakses dan ada beberapa berita yang diubah tanpa sepengetahuan redaksi. Sebagian artikel yang diretas adalah pemberitaan mengenai obat Covid-19 temuan Unair, BIN dan TNI.
Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) juga mengalami hal yang sama. Situs lembaga think tank independen yang concern pada pelayanan kesehatan di Indonesia ini dibajak sehingga banyak dokumen yang diterbitkan hilang. Sebelumnya, lembaga ini aktif memberikan pernyataan terkait penanganan pandemi Covid-19 di Tanah Air.
Kasus yang menimpa Pandu, Tempo.co, Tirto.id dan CISDI bukan yang pertama.
Sebelumnya, sejumlah kasus peretasan juga terjadi. Tak hanya media massa dan lembaga yang menjadi korban. Akun media sosial milik individu yang kritis terhadap pemerintah juga dibajak.
Sebut saja Ravio Patra. Pada April 2020, aktivis yang secara terbuka mengkritik kekurangan transparansi data tentang pasien Covid-19 ini diretas.
Akun media sosial Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandar Lampung, Hendry Sihaloho juga sempat diretas. Itu terjadi saat ia mendampingi panitia diskusi Unit Kegiatan Mahasiswa Teknokra Universitas Lampung atau Unila yang mendapatkan teror karena hendak menggelar diskusi soal Papua.
SAFEnet mencatat, lebih dari 30 an kasus teror digital terjadi sepanjang September 2019 hingga Agustus 2020. Serangan digital ini menyasar media massa, pakar, akademisi, jurnalis hingga aktivis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Sementara Amnesty International mencatat, dari Februari hingga 11 Agustus 2020, setidaknya terdapat 35 kasus dugaan intimidasi dan serangan digital terhadap mereka yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah.
Maraknya kasus peretasan ini sangat memprihatinkan. Sebab aksi ‘represi kebebasan berekpresi’ ini terjadi di era reformasi. Era dimana demokrasi seharusnya dijunjung tinggi.
Sayangnya, kasus-kasus tersebut tidak pernah diusut tuntas guna menemukan siapa pelakunya. Padahal aksi serangan siber tersebut melanggar kebebasan ekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan pers dan kebebasan akademik.
Maraknya aksi peretasan ini tak bisa dianggap main-main dan disikapi setengah hati. Serangan siber yang menimpa pakar, akademisi, aktivis, media massa dan jurnalis ini mengancam nasib demokrasi.
Pasalnya, hal ini melanggar kebebasan berekspresi, hak berpendapat dan bisa dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap kritik.
Kritik dan kebebasan berekspresi adalah unsur penting dalam demokrasi. Karena, kritik merupakan implementasi adanya pengawasan terhadap kekuasaan.
Kritik juga menjadi penanda partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan. Jadi, kritik adalah sebuah keniscayaan bagi negara yang menganut sistem demokrasi. Karena sistem ini menjanjikan kesehatan berpikir, kesehatan berperilaku sosial maupun berpolitik.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.