Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Teuku Kemal Fasya

Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh dan Dewan Pakar PW Nadhlatul Ulama Aceh. 

Debar-debar Pengungsi Rohingya

Kompas.com - 21/08/2020, 11:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Yang terbesar adalah pada 15 Mei 2015 ketika ada 820 Rohingya mendarat di pantai Aceh Timur setelah terusir dari perairan Malaysia empat hari sebelumnya.

Sambutan pertama selalu mengharu-biru. Masyarakat lokal pada awalnya selalu datang dengan bantuan, baik pakaian dan makanan, yang diberikan kepada para pengungsi. Alasan karena kesamaan keyakinan dan etnis, menjadi sebab sumbu solidaritas kemanusiaan itu menyala.

Demikian pula aksi filantropi yang dilakukan oleh mahasiswa dan kelompok masyarakat Aceh tengah ramai saat ini.

Namun kisah tragedi juga memiliki batas waktu dalam ingatan dan getaran hati. Aksi pengumpulan bantuan masyarakat seperti biasa akan berakhir sebelum siklus tahun.
Kini saja, kasus itu pelan-pelan mengempis dan hilang seturut kesibukan dan problem hidup sehari-hari.

Demikian pula pemerintah di Aceh pasti beralasan bahwa masalah Rohingya bukan masalah yang bisa diselesaikan daerah.

Benar, kasus ini adalah tanggung jawab nasional, pemerintah daerah memiliki keterbatasan untuk mengintervensi, termasuk urusan mengubah status warga negara anak-anak pengungsi.

Yang kemudian kerap terjadi adalah tragedi baru. Tempat penampungan yang awalnya “surga” menjadi “semakin panas” dan membuat pengungsi tidak betah.

Aksi yang kerap muncul dari tempat pengungsian Rohingya di Aceh ialah kasus kekerasan, pemerasan, hingga kekerasan seksual bagi pengungsi perempuan menjadi cerita berulang (Kompas.com, 29/09/2015).

Akhirnya banyak para pengungsi yang melarikan diri dan menghilang sebelum dipindahkan ke detensi lain atau remigrasi ke negara tujuan (Serambinews.com, 24/12/2018).

Kasus terkini sudah menujukkan sejarah kembali berulang, seorang gadis Rohingya melarikan diri dari gedung Balai Latihan Kerja (BLK), Meunasah Mee, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe. Diduga ia mencoba menuju ke arah Medan (Serambinews.com, 8/8/2020)

Makanya, meskipun kini mereka sempat nyaman berada sementara di Aceh, masalah pengungsi Rohingya masih tetap mendebarkan.

Kenyamanan mereka memiliki batas waktu sebelum berubah akibat perlakuan “oknum” yang tega menyakiti hati para pengungsi itu. Derita atas pengalaman kemanusiaan itu tetap saja menghantui dan bisa bertransformasi menjadi pengalaman traumatik lainnya.

Sebelum itu semua terjadi, Pemerintah RI dan lembaga bantuan pengungsi harus mengambil momentum menyelamatkan “manusia perahu” ini sehingga tetap memiliki harapan menyongsong hidup baru mereka di tanah impian.

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh harus mencari opsi paling simpatik, di tengah restriksi Piagam ASEAN yang non-intervensi, untuk ikut menyelamatkan pengungsi Rohingya berdasarkan semangat menjaga ketertiban dunia, kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com