Bom waktu konflik terus tertanam di kalangan nasionalis – kemudian hari junta militer – bahwa Rohingya adalah “sisi lain Burma”.
Berlarutnya konflik ini akibat adanya politik identitas yang ditinggalkan Inggris dengan mendeklarasi etnis Rohingya/Rohang bukan bagian dari grup-etnis etnis asli (host ethnics).
Hal ini diperparah dengan keluarnya UU Kewarganegaraan pada 1982 oleh junta militer Ne Win, yang tidak memasukkan etnis Rohingya sebagai satu dari 135 etnik asli (host ethnics) nasional.
Sebenarnya bukan hanya Rohingya yang terdiskriminasi, etnis minoritas lain seperti Karen, Wa, Chin, Shan, Pa O, dll tidak puas dengan perlakuan pemerintah nasional sehingga melahirkan gerakan militer dan pembangkangan sipil.
Hasil penelusuran pengungsi Myanmar yang kini terdampar di Aceh menunjukkan masalah yang mungkin semakin menyedihkan.
Di tangan para pengungsi itu ditemukan kartu UNHCR, lembaga PBB yang mengurusi pengungsi lintas negara.
Informasi menunjukkan bahwa mereka juga menjadi bagian dari korban trafficking yang telah terkatung-katung di lautan Hindia selama lebih empat bulan. Ada yang terpaksa meminum air kencingnya sendiri karena tidak ada suplai air.
Beberapa di antaranya meninggal di kapal dan dilempar begitu saja ke laut diselamatkan oleh nelayan Aceh (Yahoo.news, 28 Juni 2020).
Masalahnya Aceh bukan tempat idola para manusia perahu itu. Pilihan “suaka terbaik” mereka ialah Australia.
Untuk negara Asia Tenggara, Malaysia dianggap memiliki fasilitas suaka yang lebih baik untuk mendapatkan registrasi sebagai pengungsi tanpa negara (stateless refugees) dari UNHCR.
Namun, perairan Aceh di mulut Selat Melaka menjadi tempat terdampar paling efektif. Catatan Balee Institute, bahwa selain kasus 25 Juni 2020, telah lima kali para pengungsi Rohingya mendarat di Aceh dalam rentang 2015-2018.