Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Patut untuk Dipahami, Berikut Beda Psikotropika dan Narkotika

Kompas.com - 12/08/2020, 11:55 WIB
Dandy Bayu Bramasta,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Psikotropika, narkotika, serta zat-zat adiktif dan obat berbahaya lainnya (NAPZA) atau disebut narkoba merupakan ancaman paling nyata dan serius yang dihadapi negara, terutama generasi muda.

Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada 2018 di kelompok pelajar dan mahasiswa mencapai 3,2 persen.

Angka itu setara dengan 2.297.492 orang dari total jumlah pelajar remaja di Indonesia yang mencapai 15.440.000 orang.

Baca juga: Sepak Terjang Roy Kiyoshi, dari soal Narkoba hingga Keinginan Go Internasional

Lantas, apa itu psikotropika dan narkotika, apa bedanya?

Psikotropika

Mengutip laman resmi BNN, psikotropika merupakan zat atau obat yang bekerja menurunkan fungsi otak serta merangsang susunan syaraf pusat.

Sehingga, psikotropika dapat menimbulkan reaksi berupa halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan perasaan yang tiba-tiba, dan menimbulkan rasa kecanduan pada pemakainya.

Jenis obat-obatan ini bisa ditemukan dengan mudah di apotek, hanya saja penggunaannya harus sesuai dengan resep dokter.

Baca juga: Klaim Obat Covid-19 Hadi Pranoto, dari Disebut Hoaks hingga Pembodohan

Efek kecanduan yang diberikan pun memiliki kadar yang berbeda-beda, mulai dari berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan hingga ringan.

Banyak pengguna yang mengkonsumsi obat-obatan tersebut tanpa izin dari dokter. Meski efek kecanduan yang diberikan termasuk rendah, namun tetap saja bisa berbahaya bagi kesehatan.

Masih dari sumber yang sama, sebagian besar pemakai yang sudah mengalami kecanduan, dimulai dari kepuasan yang didapatkan usai mengkonsumsi zat tersebut yang berupa perasaan senang dan tenang.

Baca juga: Ramai soal Klaim Obat Covid-19 Hadi Pranoto, Ini Tanggapan Peneliti Mikrobiologi UGM

Sebabkan ketergantungan

Lama-kelamaan, pemakaian mulai ditingkatkan sehingga menyebabkan ketergantungan. Jika sudah mencapai level parah, bisa mengakibatkan kematian.

Penyalahgunaan dari obat-obatan tersebut juga bisa terancam terkena hukuman penjara. Karena itulah, meski beberapa manfaatnya sangat baik bagi kesehatan, namun jika berlebih dan tidak sesuai dengan anjuran dokter bisa menyebabkan efek yang berbahaya.

Baca juga: Alasan Singapura Tak Rekomendasikan Dexamethasone sebagai Obat Covid-19

Psikotropika terbagi atas empat golongan, yakni golongan 1 hingga 4.

  • Psikotropika Golongan 1

Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini memiliki potensi yang tinggi menyebabkan kecanduan.

Tidak hanya itu, zat tersebut juga termasuk dalam obat-obatan terlarang yang penyalahgunaannya bisa dikenai sanksi hukum.

Jenis obat ini tidak untuk pengobatan, melainkan hanya sebagai pengetahuan saja. Contoh dari psikotropika golongan 1 di antaranya adalah LSD, DOM, Ekstasi, dan lain-lain yang secara keseluruhan jumlahnya ada 14.

Pemakaian zat tersebut memberikan efek halusinasi bagi penggunanya serta merubah perasaan secara drastis. Efek buruk dari penyalahgunaannya bisa menimbulkan kecanduan yang mengarah pada kematian jika sudah mencapai level parah.

Baca juga: Deretan Produk yang Diklaim Efektif untuk Covid-19, dari Obat Herbal hingga Kalung Antivirus Corona

  • Psikotropika Golongan 2

Golongan 2 juga memiliki risiko ketergantungan yang cukup tinggi meski tidak separah golongan 1.

Pemakaian obat-obatan ini sering dimanfaatkan untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

Penggunaannya haruslah sesuai dengan resep dokter agar tidak memberikan efek kecanduan.

Golongan 2 ini termasuk jenis obat-obatan yang paling sering disalahgunakan oleh pemakaianya, misalnya adalah Sabu atau Metamfeamin, Amfetamin, Fenetilin, dan zat lainnya yang total jumlahnya ada 14.

  • Psikotropika Golongan 3

Golongan 3 memberikan efek kecanduan yang terhitung sedang. Namun begitu, penggunaannya haruslah sesuai dengan resep dokter agar tidak membahayakan kesehatan.

Jika dipakai dengan dosis berlebih, kerja sistem juga akan menurun secara drastis. Pada akhirnya, tubuh tidak bisa terjaga dan tidur terus sampai tidak bangun-bangun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com