Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Mengenang Masmimar Mangiang, Wartawan dan Guru Jurnalistik

Kompas.com - 02/07/2020, 14:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


SAYA tidak tahu, apakah saya sekarang menunggu kesembuhan atau hanya sekadar melakukan penyesuaian dengan keadaan sehat dan ketidak-sehatan pada usia 70 tahun ... sebelum semuanya sampai di titik akhir.”

(Masmimar Mangiang, status di laman Facebook, 2 Mei 2020.)

Dunia jurnalistik Indonesia kembali kehilangan guru dan praktisi bahasa jurnalistik sepanjang hayatnya, Masmimar Mangiang. Meninggal dunia 29 Juni 2020 di Jakarta dan esoknya dimakamkan di TPU Pondok Kelapa Duren Sawit, Jakarta Timur. Innalillahi wainnailaihi rajiun...

Bahkan, kepergian karena penyakitnya, dituliskan sastrawi di laman media sosialnya: “penyesuaian dengan keadaan sehat dan ketidak-sehatan”. Frasa yang indah.

Masmimar Mangiang, lahir di Limbanang, Suliki, Lima Puluh Kota, Payakumbuh, 10 September 1949 adalah seorang wartawan dan pakar bahasa jurnalistik Indonesia.

Pernah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, namun tampaknya asal suku dan bakatnya berbahasa berkait-kelindan dalam dirinya.

Bayangkan, bagaimana mungkin ia bisa menekuni dua profesi sekaligus, wartawan dan guru jurnalistik, tanpa ia mencintai Bahasa Indonesia.

Sebagai wartawan, Masmimar pernah menjadi pemimpin redaksi harian ekonomi Neraca. Sebelumnya, seperti ditulis oleh Hasril Chaniago (2018) dalam 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong, ia juga pernah jadi wartawan untuk beberapa media, di antaranya majalah Tempo, harian Kami, harian Pedoman, jurnal Prisma, majalah Fokus, dan lain-lain.

Masmimar Mangiang juga telah menulis dan menyunting banyak buku sejak 1972. Karyanya antara lain Lukman Harun dalam Lintasan Sejarah dan Politik, diterbitkan oleh (Yayasan Lukman Harun, 2000).

Tulisan amat pendek ini tentu saja tak mungkin menceritakan sosok guru teladan ini dengan lengkap. Tetapi, sebagai murid yang kemudian profesinya penulis buku, almarhum ikut andil membentuk gaya menulis dan gaya bahasa jurnalistik saya.

Itulah mengapa saya ingin mengambil satu saja sudut hidupnya yang menarik dan layak dicontoh siapapun, terutama anak muda. Yaitu, terus mengajar sampai akhir hayat.

Almarhum Bang Mimar meninggalkan contoh tentang integritas. Memilih kerja dalam kehidupan untuk sekali saja, dan kemurnian ketulusannya dijaga hingga akhir hayat.

Pekerjaannya sebagai wartawan dibarengi dengan niatnya untuk berbagi ilmu sebanyak-banyaknya dan sepanjang hayatnya lewat lembaga pendidikan.

Ada dua yang melekat pada perjalanan hidupnya. Pertama, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, kemudian berkembang menjadi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI; dan kedua, Lembaga Pendidikan Pers Dr Soetomo (LPDS).

Untuk saya, yang menjadi muridnya pada 1989-1995, beliaulah guru teladan menulis indah, akurat dan cerdas. Bang Mimar juga salah satu pelopor koran laboratorium sekolah kami, koran Komma, kependekan dari Komunikasi Massa.

Jelas, ia guru juga bagi ratusan seusia dan juga di bawah usia saya yang kemudian memilih berkarier di dunia pers dan tulis-menulis. Ia hadir bersama guru-guru saya di Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP UI, masa itu yang wartawan senior Indonesia sekaligus dosen.

Selain Bang Mimar yang waktu itu pemimpin redaksi harian ekonomi Neraca, ada nama kondang wartawan seperti almarhum D.H. Assegaff, almarhum Aristides Katoppo, Zulhasril Nasir, Ina Ratna Mariani, dan Pope Pius.

Lama sekali tak jumpa lagi dengan almarhum setelah saya lulus, Bang Mimar salah satu yang ditunjuk untuk membahas buku yang saya sunting-tulis Zaman Keemasan Soeharto, Kumpulan Tajuk D.H. Assegaff  (Penerbit Buku Kompas, 2013).

Perhelatan pada 12 Desember 2013 itu dibuat kampus saya untuk mengisi peringatan ulang tahun ke-54 Jurusan (sekarang Departemen) Ilmu Komunikasi, FISIP UI.

Saya hanya ingat, bangga, bagaimanapun buku itu menyatukan kami, almamater dan para dosennya. Saya akhirnya menjadi sering bolak-balik ke kampus dan bertemu para guru saya. Kalau tidak untuk mengajar tamu, hanya membuat janji ketemu sekadar duduk di kafe.

Pensiun pada usia 70 tahun

"Sekarang, jurnalisme seharusnya menjelaskan, bukan cuma mengabarkan," kata Bang Mimar pada acara lepas kangen jelang pensiunnya, “Lepas Kangen Bang Mimar, Tanda Cinta dari Alumni Komunikasi UI”, di kampus tempat ia mengabdi, 23 Februari 2019.

Saya hadir di antara puluhan perwakilan muridnya. Ia seperti mau menyentil siapa saja yang masih jadi wartawan aktif saat ini.

Betapa panjang perjalanan mengajarnya! Bang Mimar mengajar di FISIP UI pertama kali untuk angkatan 1978 dan pensiun pada 2019. Di masa saya, Bang Mimar mengajar mata kuliah "Teknik Menyunting dan Menata Surat Kabar".

Terbayang surat kabar zaman itu yang bahasa Indonesianya dijaga orang-orang sekelas Bang Mimar, dan teknik menyunting dan menatanya memakai teknik “gunting-tempel” yang tak mungkin terbayang oleh anak-anak kuliah jurnalistik sekarang.

“Gunting-tempel” ini pengertian yang harafiah. Plat cetak dipotong-potong sesuai ukuran kolom, dipenggal pula dengan benar sesuai suku-kata dan kepantasan jarak antara kata.

"Menulis terus ya, Mel," kata Bang Mimar pada acara sejurus bikin haru. Berfotolah kami bersama buku Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku.

Ada dua orang di sini yang saya mintakan khusus kenangannya tentang almarhum Bang Mimar. Pertama, Profesor Zulhasril Nasir, juga urang awak yang sahabatnya seusia dan memulai karier mengajar pada tahun yang kurang lebih sama.

Kedua, Indria Prawitasari, 60 tahun, Manajer Program Pendidikan di LPDS yang juga mengenal Masmimar Mangiang sejak mula mengajar di LPDS tahun 1988. Saya memuat dua testimoni tertulis mereka dengan utuh.

Persahabatan abadi dua pakar jurnalistik

Prof Dr Zulhasril Nasir, seorang penulis, ilmuwan dan akademisi Indonesia yang berprofesi sebagai Guru Besar di Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP UI. Zulhasril juga pernah aktif sebagai wartawan dan menulis beberapa buku, diantaranya Tan Malaka dan gerakan kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Ini kenangannya tentang almarhum Masmimar Mangiang, yang namanya ditulis-singkat dengan MM. Prof Zul, demikian saya memanggil sahabat alm Bang Mimar ini, menulis testimoni hanya lima menit, dalam pesan whatsapp.

“Saya kenal dengan almarhum MM pada tahun 1970, di tahun kedua kuliah kami. MM sudah menjadi wartawan harian KAMI dan saya mulai aktif di Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI), organisasi pengasuh harian KAMI.

Jadi, ia setapak lebih dulu dari saya. MM kemana-mana naik Vespa, saya jalan kaki atau naik bus. Kesan pertama mengenal MM, ia seorang yang mudah membangun pertemanan yang akrab.

Suatu ketika saya jumpa dengan alm kakak iparnya dan menyayangkan kenapa alm MM tidak menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum UI. MM tak pernah ceritakan ihwal mengapa tidak menyelesaikan kuliah dan saya pun tak pernah bertanya. Mungkin MM sudah asyik menjadi wartawan dan lupa kuliah.

Hemat saya, orang macam dia sama saja dengan perantau yang lain -- selalu gelisah. Ia akan menetap bila sudah menemukan induk semangnya. Induk semangnya itu “menjadi wartawan”.

Setelah jadi wartawan KAMI, ia pindah ke koran Pedoman pimpinan Rosihan Anwar. Setelah Pedoman dibredel usai Malari, kami yang berstatus mahasiswa mendirikan suratkabar mahasiswa Salemba di Salemba UI. Salemba didirikan dua tahun setelah Malari (Januari 1976).

Mahasiswa yang lain adalah Antony Zeidra Abidin, Pamusuk Eneste, dan beberapa aktivis mahasiswa UI lainnya.

Saat itu, MM orang yang banyak berurusan dengan basic suratkabar: lay out, format koran, tipe huruf, juga editor bahasa. Pengaruh Jerman tampak pada Salemba karena logo Pedoman, memang ia sempat beberapa lama kursus jurnalistik di Jerman.

MM memang sangat perfect dalam banyak hal. Ia selalu ingin menjadi sempurna dlm banyak hal. Sebagaimana kita tahu, seorang perfectionist punya hambatan dalam pekerjaan praktis. Tapi, dia konsisten, itu seperti sudah jadi bagian dari hidupnya.

Beruntung orang jika punya teman dia. Setidak tidaknya sebagai guru. Panutan dia tentang seluk-beluk jurnalistik adalah wartawan senior juga, alm Amir Daud. Orang yang juga nyinyir dengan tatacara yang benar menulis jurnalistik.

Saya kira ini membekas juga pada MM. Dari Rosihan mungkin "cimeeh" Haji Waang. Lalu dalam masa pasca Malari, MM setahu saya mengasuh Radio Arif Rahman Hakim bersama Zainal, Arthur J. Horoni, dan lainnya.

Suatu ketika setelah semuanya "pergi" termasuk Salemba dan Pedoman, kami diajak mendirikan, tepatnya mengasuh/menerbitkan koran Laboratorium Mahasiswa Komunikasi Massa di FISIP UI.

Ingat, ini koran dimana para mahasiswa berpraktik segala hal dalam jurnalisme. Jadi bukan koran aktivis mahasiswa. Pada waktu itu MM dan saya sudah mengajar di Jurusan Publisistik (sekarang Departemen Ilmu Komunikasi) di FISIP UI.

Buah tangan MM mantap, performance koran profesional karena dia sudah terlatih dalam soal ini. Begitu tampilan maknyus, ada pula yang curiga, kok bukan seperti koran mahasiswa, mungkin maksudnya "tidak profesional."

Pada waktu itu memang sangat menjengkelkan. Sudah bekerja keras mempersiapkan penerbitan koran, ada saja yang bermain fitnah.

Jika rapat redaksi atau kerja malam, kami diinteli. Salah satu tuduhannya itu, ada rapat gelap. Kami dan Prof Harsono Suwardi (alm, pada waktu itu Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Massa) menyayangkan fitnah ini dan ternyata masa itu sedang hangat persaingan elite kuasa.

Bayangkan koran laboratorium dihubungkan dengan rivalitas elit. Saya dan Pak Harsono dipanggil Menteri Daoed Joesoef. Malamnya, saya bersama MM dapat undangan nonton tinju di Gelora Senayan.

Kami tidak lagi nonton tinju, tetapi membicarakan kenapa dibredel hanya dengan sekali terbit oleh Menteri, Rektor melalui Deppen. Begitu gemas, kami ingin jadi petinju waktu itu. Itu tahun 1981.

Begitulah, pekerjaan selalu ada menunggu. Saya sudah PNS dan MM bekerja swasta yang mendapat honor mengajar di FISIP UI. Jangan tanya gaji PNS dan honorer waktu itu. Betul-betul kuli tinta dan kapur.

Di awal 1982, kami diminta mengasuh majalah berita Fokus oleh satu kelompok bisnis pers. Nama-nama lain adalah penyair Sutardji Calzoum Bahri dan Wina Armada.

MM bekerja sebagaimana biasa, siap dengan layout, dan lainnya. Ia tetap salah seorang editor bahasa yang handal. Kami tidak berpikir bahwa saingan pada waktu itu "top gun" majalah Tempo. Pokoknya, jalan terus sembari berbenah ke dalam.

Tidak mudah membangun SDM redaksi. Apalagi di pasar dan distribusi berhadapan dengan majalah-majalah yang sudah eksis.

Kecerdasan redaksional harus diimbangi dengan keahlian distribusi dan marketing. Inipun tidak mudah seperti orat-oret di kertas. Harus tahu permainan di distributor dan agen. Ada yang saya ingat: penjaja majalah di jalanan akan menempatkan majalah yang sudah laku di tangannya paling atas. Nah, bagaimana dengan yang baru tampil?

Karena kami di redaksi tentu tidak bekerja di manajemen, paling hanya memberikan masukan. Perbedaan pendapat dan konflik tidak dapat dihindari. Ini pengalaman yang menarik mengelola media. Tidak mudah harus bernafas panjang, modal harus banyak.

Fokus dibredel tahun 1984 karena laporan utama "200 Orang Kaya Indonesia".
MM kemudian lanjut di koran ekonomi Neraca, juga menyambi di FISIP UI, dan saya kembali full ke kampus. Masih sama-sama dan ketemu jika mengajar jurnalistik.

Alm MM selain perfectionist, ia juga seorang cerdas dan pintar dalam bicara. Nada bicaranya seperti penyiar radio dan bertutur sistematis. Mungkin ini pengalaman hidupnya, termasuk bekerja di jurnal Prisma yang kesohor itu.

Dia sebenarnya tidak punya ijazah akademis, tetapi dia sudah mencapai (prestasi) nya dengan sangat baik.”

Lembaga Pers Dr Soetomo

Indria Prawitasari, 60 tahun, Manajer Pendidikan di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), menuliskan:

“Masmimar Mangiang salah seorang pengajar LPDS sejak tahun 1989. Mulai mengajar bersama alm Amir Daud dan Ted Stannard (konsultan LPDS, berasal dari Amerika) untuk wartawan muda di harian Suara Pembaruan.

Bang Mimar antara lain yang mengingatkan kami selalu tampil dengan gaya berbusananya yang tampak nyaman, tapi keren dan selalu chic berbeda dengan kebanyakan pengajar kala itu ketika masih aktif mengajar di LPDS. Sangat menarik perhatian semua bila beliau sudah hadir mengajar, di beberapa ruangan menjadi harum yang dilewati beliau.

Cara mengajar beliau sangat bersemangat, tegas dan penuh humor kepada semua wartawan yang belajar di LPDS, meski begitu pengajar favorit untuk anak didiknya. Bila jam istirahat selalu merokok secara diam-diam di dekat tangga kantor LPDS dan cepat mematikan rokok ketika kepergok anak didiknya.

Sejak tahun 2010, Bang Mimar sudah jarang mengajar di LPDS hanya sesekali saja, ingin mengurangi kesibukan karena kesehatan yang menurun. Apalagi ke luar kota untuk ikut menjadi pelatih training, selalu yang ditanyakan ‘adakah rumah sakit yang dekat tempat training’. Maka, kami tidak berani mengundang beliau ke luar kota.

Terakhir komunikasi saya dengan Bang Mimar Juli 2019 ketika HUT LPDS. Saya mengundang beliau untuk hadir. Namun, jawaban beliau sedang kurang sehat, sering kena vertigo. Setelah itu, saya tidak pernah berkomunikasi lagi.

Sekarang tinggal kenangan yang tersisa, hanya foto beliau yang masih terpampang di dinding ruang training bersama para pendiri dan pengajar LPDS hingga saat ini. Karya beliau yang kita bukukan bersama pengajar lain, menjadi mata ajar dasar untuk para wartawan muda.

Selamat jalan Bang Mimar, Insya Allah husnul khotimah.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com