Jika rapat redaksi atau kerja malam, kami diinteli. Salah satu tuduhannya itu, ada rapat gelap. Kami dan Prof Harsono Suwardi (alm, pada waktu itu Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Massa) menyayangkan fitnah ini dan ternyata masa itu sedang hangat persaingan elite kuasa.
Bayangkan koran laboratorium dihubungkan dengan rivalitas elit. Saya dan Pak Harsono dipanggil Menteri Daoed Joesoef. Malamnya, saya bersama MM dapat undangan nonton tinju di Gelora Senayan.
Kami tidak lagi nonton tinju, tetapi membicarakan kenapa dibredel hanya dengan sekali terbit oleh Menteri, Rektor melalui Deppen. Begitu gemas, kami ingin jadi petinju waktu itu. Itu tahun 1981.
Begitulah, pekerjaan selalu ada menunggu. Saya sudah PNS dan MM bekerja swasta yang mendapat honor mengajar di FISIP UI. Jangan tanya gaji PNS dan honorer waktu itu. Betul-betul kuli tinta dan kapur.
Di awal 1982, kami diminta mengasuh majalah berita Fokus oleh satu kelompok bisnis pers. Nama-nama lain adalah penyair Sutardji Calzoum Bahri dan Wina Armada.
MM bekerja sebagaimana biasa, siap dengan layout, dan lainnya. Ia tetap salah seorang editor bahasa yang handal. Kami tidak berpikir bahwa saingan pada waktu itu "top gun" majalah Tempo. Pokoknya, jalan terus sembari berbenah ke dalam.
Tidak mudah membangun SDM redaksi. Apalagi di pasar dan distribusi berhadapan dengan majalah-majalah yang sudah eksis.
Kecerdasan redaksional harus diimbangi dengan keahlian distribusi dan marketing. Inipun tidak mudah seperti orat-oret di kertas. Harus tahu permainan di distributor dan agen. Ada yang saya ingat: penjaja majalah di jalanan akan menempatkan majalah yang sudah laku di tangannya paling atas. Nah, bagaimana dengan yang baru tampil?
Karena kami di redaksi tentu tidak bekerja di manajemen, paling hanya memberikan masukan. Perbedaan pendapat dan konflik tidak dapat dihindari. Ini pengalaman yang menarik mengelola media. Tidak mudah harus bernafas panjang, modal harus banyak.
Fokus dibredel tahun 1984 karena laporan utama "200 Orang Kaya Indonesia".
MM kemudian lanjut di koran ekonomi Neraca, juga menyambi di FISIP UI, dan saya kembali full ke kampus. Masih sama-sama dan ketemu jika mengajar jurnalistik.
Alm MM selain perfectionist, ia juga seorang cerdas dan pintar dalam bicara. Nada bicaranya seperti penyiar radio dan bertutur sistematis. Mungkin ini pengalaman hidupnya, termasuk bekerja di jurnal Prisma yang kesohor itu.
Dia sebenarnya tidak punya ijazah akademis, tetapi dia sudah mencapai (prestasi) nya dengan sangat baik.”
Indria Prawitasari, 60 tahun, Manajer Pendidikan di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), menuliskan:
“Masmimar Mangiang salah seorang pengajar LPDS sejak tahun 1989. Mulai mengajar bersama alm Amir Daud dan Ted Stannard (konsultan LPDS, berasal dari Amerika) untuk wartawan muda di harian Suara Pembaruan.
Bang Mimar antara lain yang mengingatkan kami selalu tampil dengan gaya berbusananya yang tampak nyaman, tapi keren dan selalu chic berbeda dengan kebanyakan pengajar kala itu ketika masih aktif mengajar di LPDS. Sangat menarik perhatian semua bila beliau sudah hadir mengajar, di beberapa ruangan menjadi harum yang dilewati beliau.
Cara mengajar beliau sangat bersemangat, tegas dan penuh humor kepada semua wartawan yang belajar di LPDS, meski begitu pengajar favorit untuk anak didiknya. Bila jam istirahat selalu merokok secara diam-diam di dekat tangga kantor LPDS dan cepat mematikan rokok ketika kepergok anak didiknya.
Sejak tahun 2010, Bang Mimar sudah jarang mengajar di LPDS hanya sesekali saja, ingin mengurangi kesibukan karena kesehatan yang menurun. Apalagi ke luar kota untuk ikut menjadi pelatih training, selalu yang ditanyakan ‘adakah rumah sakit yang dekat tempat training’. Maka, kami tidak berani mengundang beliau ke luar kota.
Terakhir komunikasi saya dengan Bang Mimar Juli 2019 ketika HUT LPDS. Saya mengundang beliau untuk hadir. Namun, jawaban beliau sedang kurang sehat, sering kena vertigo. Setelah itu, saya tidak pernah berkomunikasi lagi.
Sekarang tinggal kenangan yang tersisa, hanya foto beliau yang masih terpampang di dinding ruang training bersama para pendiri dan pengajar LPDS hingga saat ini. Karya beliau yang kita bukukan bersama pengajar lain, menjadi mata ajar dasar untuk para wartawan muda.
Selamat jalan Bang Mimar, Insya Allah husnul khotimah.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.