Ia mengatakan, sepanjang perempuan melakukan aktualisasi dirinya secara bebas, maka hal itu tidak perlu dipermasalahkan.
"Kata kuncinya adalah pilihan. Tidak semua orang mau menjadi ibu rumah tangga, tapi tidak semua orang juga mau punya karier di luar rumah. Tidak semua istri suka masak tapi ada istri suka masak," jelas Rouli.
Rouli berpendapat, yang berbahaya adalah jika perempuan tidak mendapat kesempatan untuk memilih.
Misalnya, perempuan yang terpaksa harus memasak karena tuntutan suami, atau tidak boleh bekerja karena dilarang oleh suaminya.
Menurut Rouli, munculnya argumentasi yang kontra atau mengkritisi unggahan itu karena jika tidak dipahami secara kritis akan menjadi alat untuk melanggengkan patriarki.
"Jadi misalnya ada postingan bekal suami, lalu orang lain akan menggunakan postingan itu untuk mendukung pendapat pribadinya, nah kan memang perempuan itu harus pintar masak untuk suami. Akhirnya yang kontra masak bekal suami ini bereaksi dengan cara mengingatkan ini bukan hanya masak, ada yang lebih dalam dari itu," papar dia.
Hal itu merespons adanya komentar yang menghendaki istri atau pasangannya harus bisa melakukan hal yang sama.
Sementara itu, saat dihubungi secara terpisah, dosen FIB UI, Adriana Rahajeng mengatakan, para feminis seringkali mendapat label "angry feminists" karena mempermasalahkan atau mempertanyakan hal-hal yang menurut masyarakat "sepele".
Padahal, jika dicermati lebih dalam, hal-hal yang dipertanyakan atau dipermasalahkan pada dasarnya tidak sesederhana yang terlihat.
"Pertama, saya ingin mengajak orang yang menyukai #BekalUntukSuami untuk menonton iklan kecap “Bantu Suami Hargai Istri” dan berbagai seri iklan terkait. Saya ingin mendengar pendapat mereka dahulu terkait iklan-iklan ini. Apakah mereka suka juga dan memahami iklan-iklan ini sama halnya dengan #BekalUntukSuami? Jika jawabannya 'tidak suka' atau paham karena mereka menganggap kegiatan memasak adalah tanggung jawab istri, di situ lah letak ketidaksepelean tagar #BekalUntukSuami," jelas Ajeng.
Ia mengatakan, kegiatan memasak pada dasarnya bisa dilakukan siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki.
Memasak adalah keterampilan dasar dalam hidup. Namun, melalui tagar yang terlihat sederhana ini, menurut dia, perempuan terus menerus diingatkan bahwa tempat mereka adalah ruang domestik.
Melayani suami seperti mempersiapkan bekal (aktivitas di dapur) adalah penanda istri “ideal”. Jika tidak melakukannya, perempuan tidak dianggap “ideal” di masyarakat.
Menurut Ajeng, dikotomi ideal versus tidak ideal itu dimulai dari hal sesederhana ini.
"Jika hal “sepele’ macam #BekalUntukSuami ini tidak dikritisi, perempuan akan terus menerus terjebak di dalam konstruksi gender: pelayan untuk suami di dapur, sumur, dan kasur di ruang domestik. Dari kata pelayan saja sudah terlihat adanya ketimpangan relasi kuasa yaitu ada yang melayani dan ada yang dilayani," kata Ajeng.