KOMPAS.com - Panel Ahli Pemerintah Jepang menyebutkan, penggunaan masker oleh masyarakat Jepang menjadi salah satu alasan mengapa jumlah kematian di Jepang akibat corona virus tidak sebanyak negara lain.
Melansir Bloomberg, 27 Mei 2020, ketika terjadi pro-kontra penggunaan masker, di Jepang hal itu telah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Namun, penggunaan masker saja tak cukup untuk menanggulangi virus corona.
Pada Rabu (27/5/2020), Jepang telah mengonfirmasi lebih dari 16.000 kasus infeksi. Dari jumlah itu, sebanyak 850 orang meninggal dunia akibat Covid-19.
Sejauh ini, angka tersebut masuk dalam deretan terendah di antara negara-negara yang masuk dalam kelompok ekonomi utama.
Baca juga: Jepang Tambah Stimulus Rp 16.170 Triliun untuk Perangi Virus Corona
Pada 25 Mei 2020, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengakhiri status darurat nasional karena menganggap kasus virus corona telah selesai.
Ia menyusun rencana untuk memulai kembali kegiatan ekonomi dan sosial secara bertahap, bersamaan dengan tindakan pencegahan terhadap wabah besar lainnya.
Pekan ini, ketika terjadi peningkatan kasus di kawasan Kitakyushu, pemerintah langsung mengirim tim untuk menyelidiki.
Para ahli juga berupaya melacak klaster lebih cepat dari sebelumnya untuk mencegah terjadinya gelombang kedua wabah virus corona ketika kegiatan di Jepang mulai berangsur aktif kembali.
Mereka melakukan kombinasi tes PCR dan pengujian antigen serta mendesak masyarakat untuk menghindari situasi yang berisiko.
Penanganan pandemi Covid-19 sejauh ini dinilai telatif baik. Apa saja yang dilakukan?
Kesadaran akan kesehatan
Wakil Ketua PanelAahli, Shigeru Omi, mengatakan, kesadaran akan kesehatan yang kuat di kalangan masyarakat Jepang membantu mengendalikan penyebaran virus corona.
Masyarakat Jepang terbiasa menjaga kebersihan, dimulai dengan kebiasaan cuci tangan.
Selain itu, karena pengalaman sejarah, mereka memiliki pengetahuan yang baik mengenai pencegahan infeksi.
Faktor sosial lainnya yakni orang Jepang merasa nyaman mengenakan masker setiap hari.
Banyak orang alergi terhadap serbuk sari sehingga mereka melakukan ini selama musim serbuk sari cedar dari awal tahun hingga musim semi dan untuk melindungi diri dari penyakit influenza.
Baca juga: Pandemi Corona, Konsultasi Kehamilan Remaja dan Perceraian di Jepang Meningkat
Antisipasi gelombang kedua
Pelajaran untuk mencegah gelombang kedua dilakukan dengan pengawasan klaster.
Otoritas berwenang memastikan situasi dan tempat yang dianggap berisiko tinggi.
Pemerintah telah menemukan bahwa memakai masker, kebersihan tangan, menjaga jarak fisik dan menghindari berbicara dengan keras sangat efektif dalam mencegah penularan.
Gelombang kedua sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, perlu mendeteksi klaster lebih cepat dari sebelumnya.
Perlu juga menggunakan tes antigen yang telah dikembangkan, bersamaan dengan tes PCR, untuk menemukan kasus sebelum gejalanya menjadi serius.
Kebijakan Jepang
Meskipun tidak melakukan penguncian seperti yang diterapkan di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, ada pengorbanan sosial dan ekonomi yang besar.
Sulit untuk menemukan keseimbangan antara mencegah penyebaran penyakit dan aktivitas sosial dan ekonomi.
Jepang tidak memiliki sarana hukum untuk memaksakan penguncian, tetapi pemodelan menunjukkan bahwa mengurangi kontak sosial sebesar 80 persen akan mengurangi infeksi, dan banyak warga negara bekerja sama untuk mematuhinya.
Tentu saja, tidak 100 persen yakin bahwa semua orang akan mematuhinya, tetapi pemerintah berharap dan percaya mereka akan melakukannya.
Baca juga: Angka Bunuh Diri Jepang Dikhawatirkan Meningkat Selama Pandemi Corona, Ini Sebabnya...
Kapasitas pengujian
Kebijakan awal Jepang yaitu menguji orang saat dokter menganggap hal itu perlu dilakukan.
Akan tetapi, penyebaran penyakit pada pertengahan Maret 2020 menunjukkan, pemerintah tidak bisa melakukan tes untuk semua warga yang membutuhkannya.
Kapasitas pengujian PCR tidak berkembang cepat untuk mengimbangi.
Jumlah tes absolut jauh lebih rendah daripada di negara lain, tetapi kenyataannya jumlah tes per kematian yang dilaporkan lebih tinggi di Jepang.
Selain itu, proporsi tes yang menghasilkan hasil positif pada satu titik lebih dari 30 persen dan sekarang telah berada di angka di bawah 1 persen.
Angka 1 persen untuk seluruh negara ini lebih rendah dibandingkan dengan negara lain.
Dengan perkembangan ini, Jepang menganggap sistem pengujian yang mereka terapkan efektif.
Meski demikian, Sigheru Omi masih belum yakin tentang keakuratan, terutama dalam hal sensitivitas serta tes antibodi.
Untuk mengurangi kecemasan masyarakat Jepang, pemerintah disarankan harus dapat melakukan tes antibodi lebih cepat.
Baca juga: Remdesivir, Obat untuk Corona yang Diapresiasi BPOM AS dan Jepang
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.