Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Senjakala Kebudayaan Nusaraya

Kompas.com - 11/05/2020, 15:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sekarang cobalah renungkan sejenak. Bagaimana caranya leluhur kita menggali khazanah pengetahuan sedemikian rupa, dan kemudian dibuktikan oleh Dawkins?

Fakta kehidupan dan dunia ilmiah juga telah menjabarkan, bahwa rekam jejak anak manusia telah ditentukan secara rigid oleh garis keturunan neneknya.

Mitokondria adalah hadiah ibu untuk dunia yang kita jalani sekarang.

Kebudayaan nusaraya

Mari kita kembali ke soal utama. Negeri Bahari yang menjadi tempat kita bermukim ini, telah jamak diketahui dunia sebagai lahan subur peradaban berkebudayaan tinggi. Karena dihuni desiliunan sungai mitokondria dengan ragam tradisi-budaya.

Tengoklah betapa indah nan menawan pakaian tradisional suku bangsa bahari jika disejajarkan dengan produk bangsa lain.

Belum lagi kita bincangkan susastra, khazanah metalurgi, kuliner, rumah adat, jenis tarian, teater rakyat, arsitektur, alat musik yang melahirkan keindahan bunyi tak terperi macam gamelan, warisan budaya tak benda seperti silaturahim, dan gotong-royong.

Prof. Dr. Azyumardi Azra suatu kali bercerita. Ketika di Mesir, ia shalat Maghrib di sebuah masjid dengan memakai kain sarung dan batik.

Lantas Sang Imam menegur cara berpakaiannya. Intelektual Muslim kebanggaan Indonesia itu pun menjawab enteng, “Di negara saya pakaian seperti itu hanya dipakai wanita.”

Anekdot ini menggambarkan bahwa agama bukan sebatas pakaian belaka. Padahal pakaian khas Arab yang bernama ghamis, jelas bukan pakaian agama—yang sebenarnya adalah takwa.

Menilik kondisi kebudayaan kiwari kita saat ini, sejatinya sungguh sangat memprihatinkan.

Sudahlah tak melakukan temuan baru, dan enggan melestarikan, yang terjadi malah penggerusan tak karuan. Ini jelas merupakan pengkhianatan pada leluhur kita bangsa asli kepulauan: Nusaraya.

Sejauh ini, hanya masyarakat Bali yang dengan setia merawat-meruwat tinggalan kebudayaan yang masih mereka miliki dalam segala segi kehidupan.

Pada saat yang sama, mereka tak kehabisan cara untuk menerima dunia modern yang terus menggeliat.

Akhir kalam. Sebelum negeri ini menjadi tuna budaya, mari sama kita insyafi kesalahan yang berjela-jela. Kembalilah pada pangkuan Ibu Pertiwi.

Sebagai anak turunan bangsa penjelajah samudera, sudah selayaknya kita menjadikan jaladhi (samudra) selaku wahana pengenalan diri.

Jika pikiran dan hati kita sudah seluas segara, niscaya apa pun yang tercebur di dalamnya takkan merusak jati diri kita selaku pewaris sah Negeri Bahari yang gemah ripah.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com