Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asal-usul THR, Awalnya Hanya untuk PNS hingga Picu Protes Buruh

Kompas.com - 10/05/2020, 07:32 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Virdita Rizki Ratriani

Tim Redaksi

Sumber kompas.com

KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan resmi mengizinkan penundaan pemberian tunjangan hari raya ( THR) dari perusahaan ke pekerjanya.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah menerbitkan Surat Edaran (SE) tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Melalui SE tersebut, Ida menjabarkan opsi-opsi yang dapat ditempuh perusahaan yang tidak mampu membayarkan THR kepada pekerjanya secara tepat waktu.

Perusahaan yang tidak mampu membayarkan THR secara tepat waktu maka perlu melakukan dialog terlebih dahulu agar mencapai kesepakatan dengan pekerjanya.

Baca juga: Pemerintah Izinkan Tunda THR, Ini Aturan mengenai Pemberian THR

Keputusan ini tentu mengundang reaksi kekecewaan dari para buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal bahkan menolak SE dari Menaker untuk memberi kelonggaran bagi pengusaha untuk tak membayarkan THR 100 persen.

“KSPI berpendapat, THR harus dibayar 100 persen bagi buruh yang masuk bekerja, buruh yang diliburkan sementara karena covid-19, buruh yang dirumahkan karena covid-19, maupun buruh yang di PHK dalam rentang waktu H-30 dari lebaran,” kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangannya, Kamis (7/5/2020) dikutip dari Kompas.com.

THR memang menjadi salah satu hal yang ditunggu-tunggu oleh buruh di Indonesia menjelang hari raya. Kehadirannya dinanti karena menjadi harapan untuk bertahan di saat situasi perekonomian yang sulit akibat pandemi Covid-19.

Lantas, kapan sebenarnya THR pertama kali diberikan di Indonesia dan siapa pencetus pertama kebijakan ini?

Baca juga: Begini Cara Atur THR di Masa Corona Biar Keuangan Sehat

Awalnya hanya untuk PNS

Melansir bulelengkab.go.id, pembagian dan pemberian uang THR bagi para pekerja di Indonesia dimulai pertama kali pada era Kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi yang dilantik pada tahun 1951.

Soekiman Wirjosandjojo adalah Perdana Menteri sekaligus Menteri Dalam Negeri Indonesia ke-6 sekaligus pencetus kebijakan pemberian THR.

Kala itu pembagian uang THR tersebut merupakan salah satu program kerja kabinet Soekiman yang diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan para pegawai negeri sipil (PNS).

Kelompok pegawai negeri sipil terdiri dari priyayi, menak, kaum ningrat, TNI, dan sekelasnya.

Pada era Kabinet Soekiman, pembagian THR bisa berupa uang setiap bulan di akhir bulan Ramadhan.

Nilainya sebesar Rp 125 sampai Rp 200, yang sekarang setara dengan Rp 1.100.000 sampai Rp 1.750.000. Tidak hanya itu, tunjangan juga diberikan diberikan dalam bentuk tunjangan beras.

Baca juga: Rumahkan 2.500 Karyawan, Ruben Onsu Tetap Beri Gaji Sebulan dan THR

Menuai protes dari buruh

Pada 13 Februari 1952, dimulai aksi protes dan demonstrasi dari kaum buruh terhadap pembagian THR yang diperuntukkan hanya untuk PNS saja.

Protes dilakukan lantaran buruh merasa hal tersebut tidak adil karena mereka juga merasa turut bekerja keras bagi perusahaan-perusahaan swasta dan milik negara.

 

Hal tersebut dapat menimbulkan kesenjangan sosial antara kaum buruh dan pegawai negeri.

Sebagai bentuk protesnya, para kaum buruh langsung menggelar mogok kerja, sembari menuntut pemerintah untuk adil dalam memberikan tunjangan kepada mereka. Namun, tuntutan dari kaum buruh tidak dapat diterima oleh pemerintah.

Kebijakan tunjangan dari kabinet Soekiman akhirnya menjadi titik awal bagi pemerintah untuk menjadikannya sebagai anggaran rutin negara.

Baca juga: FBLP: Menaker Melanggar Aturan Terkait Pembayaran THR

Baru diatur secara resmi tahun 1994

Tahun 1994 pemerintah akhirnya secara resmi mengatur perihal THR secara khusus.

Peraturan mengenai THR ini dituangkan di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.

Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa pengusaha wajib memberikan THR kepada para pekerja yang telah bekerja selama tiga bulan secara terus menerus atau lebih.

Besaran THR yang diterima pun disesuaikan masa kerja.

Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih menerima sebesar satu bulan gaji.

Baca juga: Ada Corona, Pengusaha Tetap Wajib Bayar THR

Sementara pekerja yang mempunyai masa kerja tiga bulan secara terus menerus tapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerjanya, yakni dengan perhitungan masa kerja dibagi 12 dikalikan 1(satu) bulan gaji.

Pada 2016, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan merevisi peraturan mengenai THR tersebut. Perubahan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 6/2016.

Peraturan terbaru itu menyebutkan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan THR.

Selain itu, kewajiban pengusaha untuk memberi THR tidak hanya diperuntukan bagi karyawan tetap, melainkan juga untuk pegawai kontrak.

Termasuk yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) maupun perjanjian kerja waktu tertentu, (PKWT).

Baca juga: Soal THR Boleh Ditunda, Buruh Nilai Kapabilitas Menaker Rendah dalam Lindungi Hak Karyawan

(Sumber: bulelengkab.go.id, Kompas.com/ Editor: Virdita Rizki Ratriani)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Daftar Dugaan Keterlibatan Keluarga SYL dalam Pencucian Uang, Digunakan untuk Skincare dan Renovasi Rumah

Daftar Dugaan Keterlibatan Keluarga SYL dalam Pencucian Uang, Digunakan untuk Skincare dan Renovasi Rumah

Tren
Daftar Keluarga Jokowi yang Terima Penghargaan, Terbaru Bobby Nasution

Daftar Keluarga Jokowi yang Terima Penghargaan, Terbaru Bobby Nasution

Tren
Benarkah Tidur di Kamar Tanpa Jendela Berakibat TBC? Ini Kata Dokter

Benarkah Tidur di Kamar Tanpa Jendela Berakibat TBC? Ini Kata Dokter

Tren
Ini Daftar Kenaikan HET Beras Premium dan Medium hingga 31 Mei 2024

Ini Daftar Kenaikan HET Beras Premium dan Medium hingga 31 Mei 2024

Tren
Ramai soal Nadiem Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris, Ini Kata Kemendikbud Ristek

Ramai soal Nadiem Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris, Ini Kata Kemendikbud Ristek

Tren
Media Korsel Soroti Pertemuan Hwang Seon-hong dan Shin Tae-yong di Piala Asia U23

Media Korsel Soroti Pertemuan Hwang Seon-hong dan Shin Tae-yong di Piala Asia U23

Tren
10 Ras Anjing Pendamping yang Cocok Dipelihara di Usia Tua

10 Ras Anjing Pendamping yang Cocok Dipelihara di Usia Tua

Tren
5 Manfaat Kesehatan Daging Buah Kelapa Muda, Salah Satunya Menurunkan Kolesterol

5 Manfaat Kesehatan Daging Buah Kelapa Muda, Salah Satunya Menurunkan Kolesterol

Tren
Viral, Video Sopir Bus Cekcok dengan Pengendara Motor di Purworejo, Ini Kata Polisi

Viral, Video Sopir Bus Cekcok dengan Pengendara Motor di Purworejo, Ini Kata Polisi

Tren
PDI-P Laporkan Hasil Pilpres 2024 ke PTUN Usai Putusan MK, Apa Efeknya?

PDI-P Laporkan Hasil Pilpres 2024 ke PTUN Usai Putusan MK, Apa Efeknya?

Tren
UKT Unsoed Tembus Belasan-Puluhan Juta, Kampus Sebut Mahasiswa Bisa Ajukan Keringanan

UKT Unsoed Tembus Belasan-Puluhan Juta, Kampus Sebut Mahasiswa Bisa Ajukan Keringanan

Tren
Sejarah dan Makna Setiap Warna pada Lima Cincin di Logo Olimpiade

Sejarah dan Makna Setiap Warna pada Lima Cincin di Logo Olimpiade

Tren
Ramai Anjuran Pakai Masker karena Gas Beracun SO2 Menyebar di Kalimantan, Ini Kata BMKG

Ramai Anjuran Pakai Masker karena Gas Beracun SO2 Menyebar di Kalimantan, Ini Kata BMKG

Tren
Kenya Diterjang Banjir Bandang Lebih dari Sebulan, 38 Meninggal dan Ribuan Mengungsi

Kenya Diterjang Banjir Bandang Lebih dari Sebulan, 38 Meninggal dan Ribuan Mengungsi

Tren
Dari Jakarta ke Penang, WNI Akhirnya Berhasil Obati Katarak di Korea

Dari Jakarta ke Penang, WNI Akhirnya Berhasil Obati Katarak di Korea

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com