"Gelombang pandemi muncul karena jumlah orang yang rentan atau belum memliki kekebalan jauh lebih besar, daripada yang sudah terpapar," jelas dia.
Sehingga, karena belum adanya vaksin atau obat Covid-19, munculnya gelombang kedua berpotensi sangat besar, sebab virus SARS-CoV-2 leluasa menginfeksi karena belum ada perlindungan di masyarakat.
Selain itu, gelombang kedua juga bisa terjadi karena kembali melonggarnya upaya pencegahan atau physical distancing di masyarakat.
"Semakin merasa bebas, tidak jaga jarak, tidak memakai masker, ini mempercepat terjadinya serangan gelombang kedua atau ketiga," ungkap Dicky.
Baca juga: Apa Itu Herd Immunity dan Mengapa Berisiko Tinggi?
Bagaimana dengan Herd Immunity?
Dicky menjelaskan, Herd Immunity atau kekebalan komunitas lebih tepat untuk menyebut kondisi apabila dikaitkan dengan sudah ditemukannya vaksin.
Sehingga, ketika vaksin belum ditemukan maka istilah Herd Immunity menurut dia kurang pas untuk pandemi Covid-19. Dicky juga menekankan bahwa pendekatan Herd Immunity sebelum ada vaksin sangat berbahaya apabila diterapkan.
"Karena ini bukan penyakit flu biasa," ungkapnya.
Dalam istilah pemahaman kekebalan komunitas yang terjadi saat ini, Dicky menyebut, data WHO secara global di dunia baru sekitar 3 persen yang kemungkinan memiliki kekebalan Covid-19.
"Masih besar yang rentan terkena, masih 90 persen lebih," jelas dia.
Apakah penyintas Covid-19 kebal?
Terkait hal itu, Dicky menjelaskan, virus corona Covid-19 adalah penyakit baru.
Sehingga para ilmuwan belum banyak tahu karakter dan sifat virus tersebut.
Termasuk apakah seseorang yang terinfeksi dan sembuh bisa memiliki kekebalan langsung belum ada jawaban pasti.
"Masih diteliti, kami ilmuwan menjawab sesuai dengan data dan literatur terkini. Sehingga kami selalu tekankan bahwa pencegahan lebih baik dari mengobati," kata Dicky.
Baca juga: Sembuh dari Covid-19, Apakah Tubuh Jadi Kebal Corona? Ini Kata Para Ahli