SUDAH cukup banyak tulisan bagus mengenang Didi Kempot yang beredar dari orang-orang terkenal dan para penulis beken. Akan tetapi, tetap saja saya tidak dapat membendung hasrat untuk juga ikut menulis tentang Didi Kempot.
Terus terang saya tidak begitu mengikuti perjalanan sukses karier Didi Kempot sebagai maestro penyanyi khas berbahasa Jawa.
Selintas saya mengenal dan mendengar sayup-sayup nama Didi Kempot sebatas nama beken yang menjadi bagian penerus dari “sisa-sisa” ketenaran pagelaran Srimulat yang kesohor.
Pagi hari itu, mendengar kabar meninggalnya Didi Kempot, saya langsung meneruskannya ke istri saya.
"Wah, dia penyanyi sedang top-top nya belakangan ini dan penggemarnya kelompok milenial kampus," begitu respons istri saya.
Penasaran, saya segera membuka banyak tulisan dan video tentang Didi Kempot. Berjam-jam hingga buka puasa diselingi mengikuti berita duka dan siaran mengenang almarhum, saya akhirnya memperoleh kesan yang sangat khusus dari keberadaan Didi Kempot sebagai penyanyi kondang kesayangan publik.
Setidaknya Didi Kempot pernah tampil dihadapan dua orang Presiden, yaitu Presiden Suriname dan Presiden Republik Indonesia.
Keistimewaanya sebagai pelantun lagu sudah banyak ditulis orang. Dalam tulisan ini saya hanya ingin menggoreskan sedikit kesan saja yang langsung terekam dalam hati seusai menjelajah beberapa tulisan, berita, dan video mengenai Didi Kempot.
Yang sangat mengesankan sekali adalah bahasa yang digunakannya dalam bernyanyi, yaitu bahasa Jawa yang biasa digunakan di jalanan.
Saya bukan orang Jawa, tetapi saya lahir di Yogyakarta dan melewati rentang waktu yang terputus-putus menetap di kota itu dengan jumlah total lebih kurang 10 tahun.
Saya pun tidak mahir berbahasa Jawa. Namun, ada banyak kata-kata dalam bahasa Jawa yang menancap dalam hati saya karena begitu tepat mewakili rasa dan sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia.
Kita mulai saja dengan kata ambyar. Itu kata-kata yang mewakili makna bubar total, tidak keruan, amburadul, hancur lebur, dan pasti tidak bisa diperbaiki lagi.
Ambyar mewakili itu semua.
Guru saya pernah bercerita didepan kelas tentang bingungnya seorang dokter bila menerima pasien orang jawa.
Sang Pasien mengatakan, “Dok, saya geringgingen”.