Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Coming Home with Leila Chudori: Pramoedya, Marah Roesli, Alice Munro...

Kompas.com - 22/04/2020, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ADA tiga dunia yang penting: dunia buku, dunia film, dan realita. Buku (dan film) adalah dua suaka saya dari realita.

Ketika hidup menyajikan realita yang membuat dada penuh sesak, air mata menggenang, lidah getir, maka buku adalah satu cara saya memasuki jaga yang diciptakan para penulis luar biasa itu.

Sejak kecil kedua orangtua saya mengajak saya memasuki dunia Mahabharata, sebuah epik panjang berasal dari India yang kelak tokoh-tokoh dan filsafatnya banyak pengaruh pada penulis Indonesia, termasuk saya.

Di masa kanak-kanak pula saya berkenalan satu per satu dengan Oliver Twist di masa Industri Revolusi dan berbagai tokoh Charles Dickens lainnya, seperti Charles Darnay dan Sydney Carton yang menjadi simbol dari novel "Kisah Dua Kota".

Lalu, ada Kiki dan komplotannya, Bambang Ekalaya, Holden Caufield, Drupadi, para Gadis March...

Mereka semua tokoh-tokoh imajinatif yang kemudian bersatu dengan dunia nyata keseharian saya. Karena pada dasarnya, saya percaya, karya para penulis sebagaimanapun fiktif dan "imajinatif", tetapi itu semua terinspirasi dan ekspresi dari realita.

Akan tetapi, semakin saya dewasa, saya menyadari betul, buku dan kegiatan membaca bukanlah hal yang terlalu akrab di Indonesia.

Salah satu penyebabnya karena membaca (sastra) bukanlah sesuatu yang sangat ditekankan dalam kurikulum pendidikan kita.

Sastra Indonesia dijadikan bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia, dan jarang sekali ada pembahasan yang mendalam dan serius tentang buku-buku sastra kontemporer.

Kalaupun ada beberapa sekolah yang mencoba menyelipkan kegiatan sastra di sekolah-sekolah (swasta), lazimnya diselenggarakan sebagai bagian dari peringatan Sumpah Pemuda karena kalimat "menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia."

Kegiatan itu biasanya mengundang sastrawan berbicara tentang karya mereka atau sekadar lomba menulis. Itu semua tetap tidak cukup untuk membangun tradisi membaca sebagai bagian dari kebutuhan hidup.

Di Indonesia, sinetron, televisi, musik dan social media sudah telanjur lebih berkuasa daripada kedahsyatan sebuah buku.

Mungkin itu sebabnya setahun silam saya mengusulkan penerbit Kepustakaan Populer Gramedia--yang menerbitkan buku saya--untuk melahirkan sebuah acara bincang buku, yang langsung disambut mereka dengan bersemangat.

Saya mengusulkan medium podcast (siniar) yang relatif lebih baru daripada medium Youtube. Salah satu alasan saya adalah karena karena podcast lebih sederhana (tak perlu peduli dengan visual) dan para tamu yang saya undang bisa berkonsentrasi membahas buku-buku yang dibacanya.

Bersama-sama berbagai pihak termasuk sesama sibling penerbit Gramedia Pustaka Utama, Kompas.com, juga beberapa kawan lain--seperti Studio Soundhead dan Femina Group--ikut mendukung karena saking kepengin betul membuat masyarakat Indonesia "nyemplung" kembali ke dalam buku bacaan dan tak selalu melekat ke gawai 24 jam sehari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com