Kata "lumbung" dipilih karena mengacu pada konsep masyarakat Jawa pada zaman dahulu yang bersifat agraris.
Kala itu, masyarakat Jawa mengenal istilah mangsa atau musim untuk menandai waktu-waktu sesuai kegiatan bertani mereka.
Untuk berjaga-jaga jika tiba waktunya musim paceklik atau gagal panen, maka masyarakat pada waktu itu memiliki lumbung untuk menyimpan cadangan makanan.
Dengan cara ini, mereka membangun ketahanan pangan.
"Secara ide dan konsep sih sudah lama. Ingin kami terapkan untuk gerakan masyarakat kampung. Wabah corona seperti menemukan momentum pentingnya lumbung sebagai ketahanan pangan komunitas," kata Zen.
Bahan pangan yang terkumpul di lumbung lebih diprioritaskan bagi sesama anggota komunitas dan masyarakat yang tinggal di sekitar Rumah Banjarsari.
Ia mengajak setiap komunitas atau kampung untuk membentuk lumbung masing-masing, sebagai bentuk pertahanan pada masa sulit seperti saat ini.
Baca juga: Buka Donasi, Iluni UI Bikin Aplikasi untuk Permudah Penyaluran APD Tenaga Medis
Menurut Zen, pendirian lumbung ini berbeda dengan aksi sosial yang sudah sering dilakukan selama ini.
"Lumbung itu secara konsep dan praktik tidak sama dengan aksi sosial. Aksi sosial adalah mendistribusikan bantuan sesegera mungkin yang biasanya target tujuannya random acak di jalan-jalan. Ada pula model politisi yang aksi sosialnya menarget konstituennya," jelas Zen.
"Lumbung wataknya adalah menyimpan bahan pokok yang akan digunakan selama musim paceklik. Sehingga ketersediaan stok bahan di lumbung harus memperhatikan perkiraan berapa lama waktu paceklik," lanjut dia.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan