Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Kondisi Yaman, yang Harus Bertahan di Antara Perang dan Corona

Kompas.com - 13/04/2020, 14:04 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pada Jumat (10/4/2020), Yaman telah melaporkan kasus pertama virus corona di kota pelabuhan Ash Shihr, Hadhramaut.

Usai laporan tersebut, Gubernur Hadhramaut Farag al-Boushani mengatakan akan memberlakukan jam malam parsial dan seluruh pekerja di pelabuhan akan menjalani karantina selama 14 hari.

Provinsi al-Mahra yang berbatasan langsung dengan Hadhramaut juga telah menutup semua perbatasannya.

Fasilitas Kesehatan Rusak

Yaman merupakan negara termiskin di Timur Tengah yang dilanda peperangan selama lima tahun terakhir.

Para pekerja kesehatan dan lembaga bantuan memiliki kekhawatiran tinggi akan wabah Covid-19 di Yaman.

Lebih dari setengah rumah sakit dan klinik di Yaman telah hancur atau ditutup selama perang antara pemberontak Houthi dan koalisi Arab Saudi-Uni Emirat Arab yang mendukung pemerintah Yaman.

Baca juga: Gejala Baru Virus Corona Mulai Muncul, Apa Saja?

The Guardian memberitakan, mayoritas serangan terhadap infrastruktur sipil banyak dilakukan oleh pasukan koalisi Arab Saudi yang didukung oleh Inggris, AS, dan negara Barat lainnya.

Setidaknya, 80 persen dari 28 juta populasi bergantung pada bantuan internasional untuk bertahan hidup.

Krisis air bersih dan minimnya sanitasi merupakan kenyataan yang harus dihadapi warga Yaman, di tengah bayang-bayang gizi buruk, kolera, dan virus corona.

Gencatan Senjata

Sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dilakukan untuk menunjukkan kesadaran akan ancaman pandemi Covid-19, Riyadh memulai gencatan senjata selama dua minggu dimulai pada Kamis (9/4/2020).

Jika gencatan senjata itu ditaati, maka akan menjadi penghentian peperangan pertama setelah beberapa kali menemui kegagalan.

Kendati demikian, langkah tersebut disambut skeptis oleh pihak pemberontak Houthi.

"Kami menganggap gencatan senjata sebagai manuver politik dan media," kata Juru Bicara Houthi Mohamed Abdel-Salam kepada Aljazeera.

Perseteruan terbaru antara kedua pihak terjadi pada 29 Maret 2020, ketika sejumlah rudal balistik pasukan Houthi menyasar Arab Saudi.

Beruntung pasukan pertahanan Arab Saudi berhasil mencegatnya di atas Riyadh dan Jizan, kota yang berbatasan langsung dengan Yaman.

Satu hari berselang, koalisi Arab Saudi-UEA membalas Houthi dengan meluncurkan puluhan rudal ke ibu kota Sanaa, Yaman.

Baca juga: Mengapa Virus Corona di Afrika Muncul Lebih Lambat dari Perkiraan?

Dorong perudingan

Seorang serdadu Houthi membawa senapan saat menghadiri pertemuan di Sanaa, Yaman, 2 April 2020.Mohamed Al-Sayaghi/REUTERS Seorang serdadu Houthi membawa senapan saat menghadiri pertemuan di Sanaa, Yaman, 2 April 2020.

Martin Griffiths, utusan khusus PBB untuk Yaman, mengatakan pada hari Jumat bahwa kantornya secara teratur berhubungan dengan kedua belah pihak.

Pengumuman gencatan senjata disambut dengan hati-hati oleh konsorsium lebih dari 50 LSM yang bekerja di Yaman, termasuk Oxfam, Dewan Pengungsi Norwegia, Tearfund dan Komite Penyelamatan Internasional.

"Kami mendesak semua pihak dalam konflik di Yaman untuk segera menghentikan pertempuran, untuk menerapkan gencatan senjata tanpa penundaan dan bekerja dengan utusan khusus PBB untuk segera memulai kembali perundingan politik yang komprehensif dan inklusif untuk mengakhiri konflik," kata kelompok itu.

Baca juga: Pantau Kebutuhan APD Rumah Sakit dan Fasyankes di Laman Kawalrumahsakit.id

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com