Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Garin Nugroho

Lebih dari 65 penghargaan film diraihnya dari berbagai festival international dan Indonesia. Karyanya meluas dari film, teater, dance hingga instalasi Art .

Garin mendapatkan penghargaan peran budaya tertinggi dari berbagai negara: pemerintah Perancis (Ordre des Arts et des Lettres), Italia (Stella D'Italia Cavaliere) hingga Presiden Indonesia dan Honorary Award Singapura International Film Festival, Life Achievement Award dari Bangkok International Festival, walikota kota Roma hingga Vaseoul - Perancis hingga kota Yogyakarta.

Tercatat sebagai pelopor generasi film pasca 1990. Selain berkarya, ia menumbuhkan beragam festival seni, menulis buku, kolom Kompas dan Tempo maupun menumbuhkan NGO untuk demokrasi.

Ia pengajar S2 dan S3 di ISI Solo dan Yogyakarta.

Corona Membangkitkan Tanya: Ada Apa dengan Alam Kita?

Kompas.com - 25/03/2020, 16:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


SUNGGUH sulit mencari tema tulisan di tengah krisis kemanusian berkait Corona. Beberapa hari ini saya membaca ulang catatan harian. Terasa, catatan perjalanan perlu saya tuliskan di kolom ini untuk merenungi kemanusiaan kita berkait alam

Maumere-NTT, 1992

“Saya tidak tahu Bapa, kenapa laut ikut campur ke daratan . Ataukah tempat mereka bermain telah kita ambil, kita tutupi dengan rumah-rumah dan hotel di negeri ini? Apakah alam marah?“

Percakapan itu terjadi beberapa hari setelah Tsunami setinggi 30 meter terjadi dan menewaskan sekitar 1.300 orang.

Percakapan yang terdengar sederhana namun memberi renungan panjang. Meski saya tahu, negeri ini dikelilingi 100 lebih gunung aktif dan terletak di lempengan bumi yang mudah goncang.

Meulaboh-Aceh, Maret 2005

“Alam begitu indah, memerah jingga, ikan-ikan berlompatan di sepanjang tepi pantai. Keindahan itu ternyata sementara, menjadi tragedi, tsunami menerjang . Apakah kita sudah tidak lagi bisa berkomunikasi dalam alam kita sebagai rumah kita? Kenapa kita tak mampu membaca tanda-tanda alam kita ketika kecanggihan teknologi justru bertumbuh pesat?“

Percakapan itu adalah ucapan penyair Aceh, Ibrahim Kadir, setelah tsunami. Ucapan yang kemudian menjadi nyanyian Didong.

Foto masjid yang menjadi satu-satunya bangunan utuh di wilayah Meulaboh yang diambil pada 2 Januari 2005, menjadi salah satu foto yang paling diingat Eugene Hoshiko, fotografer Associated Press yang meliput tsunami Aceh. Tsunami meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004AP/Eugene Hoshiko Foto masjid yang menjadi satu-satunya bangunan utuh di wilayah Meulaboh yang diambil pada 2 Januari 2005, menjadi salah satu foto yang paling diingat Eugene Hoshiko, fotografer Associated Press yang meliput tsunami Aceh. Tsunami meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004

Saya berada di Aceh seminggu setelah Tsunami. Melakukan perjalanan dari Wasur-Meureke-Papua langsung ke Meulaboh lewat perjalanan panjang yang menunjukkan luasnya negeri ini.

Jalan kaki dari hutan Wasur, naik mobil, pesawat dua kali dan naik helikopter dari Medan ke Aceh. Sebuah perjalanan membuat dokumenter atas permintaan John Hopkins University

Saya mendarat di tengah kehancuran kota dan mayat-mayat. Tsunami Aceh setinggi 30 meter yang muncul akibat gempa bermagnitudo 7,5 menewaskan sekitar 250.000 manusia.

Sekali lagi pertanyaan muncul: apa yang dikabarkan alam pada kita?

Jogja, September 2010

“Tadi malam batu batu gunung api berjatuhan di atas rumah, pohon-pohon bambu pecah berbunyi seperti petasan-petasan besar. Gemuruh letupan terasa di kepala . Tapi untuk apa Bapak setua ini mengungsi?

Ini sudah ketiga kali Merapi meletus sepanjang hidup Bapak. Kalau dulu Bapak mengungsi, Bapak bisa bercocok tanam dan membangun kampung baru. Sekarang kalau Bapak mengungsi di stadion rasanya seperti penjara. Tanah-tanah sudah tidak ada tempat untuk orang jadi sehat. Tanah-tanah sudah tertutup. Tanah juga tertutup untuk lahar. Mereka lalu menerjang ke mana-mana. Bapak di rumah saja.“

Ucapan Bapak Tua di kaki Gunung merapi ini sangat menyentuh. Kami tidak bisa memaksa mengungsi meski letusan gunung mendekati puncaknya.

Kami meninggalkan Bapak Tua itu di rumahnya. Rumah itu daerah siaga satu yang tidak boleh ditinggali.

Saya berjalan di kampung kosong dengan debu merapi setinggi mata kaki menutupi desa dan suara geluduk merapi terdengar semakin keras.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com