Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Loper Koran Jadi Jenderal, Cerita Pemimpin Akademi Militer

Kompas.com - 29/02/2020, 14:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Satu ciri khas Jenderal Dudung Abdurachman, yang juga ditandai oleh semua mantan anak buahnya, ia pemberani yang sabar, cinta anak buah, tetapi tegas tanpa harus marah-marah. Sering dalam kisahnya di berbagai medan tugas dengan bentrokan senjata, ia berada di garis depan.

Dalam buku ini ada kisah pertempuran di Jailolo, Maluku, yang ia harus merangsek ke garis depan untuk berunding dengan pemberontak. Anak buahnya bahkan berteriak saking ngeri denan kemungkinan komandannya diberondong peluru.

Mantan komandannya sejak ia perwira muda di Yonif 744/SYB Somodok, Timor-timur, juga mengenangnya sebagai perwira muda yang kreatif.

“Ia kecil, kurus, tetapi menawarkan membawa ransel saya yang beratnya 25 kilo,” kenang sang Komandan.

Ia juga ditakdirkan diberi kesempatan membentuk jiwa kepemimpinan dan cinta negara para perwira lulusan Akmil. Dalam wawancara kami, Pak Dudung menandai kesempatan sebagai “kepala sekolah” di almamaternya ini sejak November 2018, sebagai caranya mengaplikasikan gaya kepemimpinan yang dijalani di masa tugas teritorialnya sejak menjadi perwira remaja.

Bahkan, ayah tiga orang anak yang dua di antaranya hampir menjadi dokter ini, telah menekuni dan mencari gaya kepemimpinan ini sejak ia menjadi Wakil Gubernur Akademi Militer tahun 2015.

Seperti yang diungkapkannya kepada saya ketika buku ini baru mulai ditulisnya. “Saya dibentuk oleh keperihan hidup, doa yang tak putus dari Ibunda juga almarhum Ayah, didikan orangtua juga keluarga yang penuh kasih sayang dan tempaan keras Akademi Militer-Lembah Tidar...”. Ibu dan ayahnya lah motivasi hidup Dudung Abdurachman.

Menurut Gubernur Akademi Militer, perwira TNI Angkatan Darat dengan dua bintang ini, “Lakukan yang terbaik, dan tak lupa mendaras doa tak putus dalam setiap salat. Satu lagi, restu kedua orangtua, terutama Ibunda.”

Demikianlah cara Gubernur Akademi Militer ini, satu diantara 263 alumni Lembah Tidar 1988B yang telah meraih pangkat bintang ini, menjalani hidup dan karier militernya. Baru kurang dari 10 orang di angkatannya yang telah meraih pangkat Perwira Tinggi.

Pemimpin Militer di Era 4.0

Dalam sebuah wawancara, tentara asal tanah Pasundan ini pernah mengatakan, “Dalam jenjang organisasi TNI, kelompok yang paling sulit hidupnya, minimalis dalam pangan dan pakaian juga hiburan, adalah jenjang prajurit paling bawah. Para tamtama dan bintara. Padahal, merekalah ujung tombak TNI. Maka, apakah yang paling mereka harapkan dari komandannya? Meningkatnya kesejahteraan diri dan keluarganya.”

Lalu, untuk lulusan Akademi Militer di Era 4.0 atau sering juga disebut sebagai era global atau era milineal, bagaimana masyarakat awam atau para calon taruna Akmil memahami masa ini dan menyesuaikan kemampuannya dengan kebutuhan TNI di masa depan?

Ia menjawab, visi Akademi Militer sejak didirikan adalah "Menjadikan Akmil sebagai Center of Excellence yang dapat mewujudkan hasil didik yang profesional dan dicintai rakyat". Misi ini bukan sekadar jargon. Jangan dilupakan, inilah yang membuat TNI kita selalu disebut sebagai tentara rakyat.

Menurutnya, perbedaan visi Akademi Militer sekarang adalah pada aplikasi modern yang menjadi tantangan mereka bersaing dengan tentara-tentara di seluruh dunia. “Perang” mereka bukan lagi hanya adu senjata dalam arti sebenarnya. “Perang” di zaman mereka adalah menghadapi perang generasi ke-4. Ini sering diistilahkan sebagai (fourth generation warfare) atau lebih dikenal dengan “4 GW”.

Kemunculannya bersamaan dengan revolusi industri 4.0. “Perang” jenis ini merupakan transformasi dari tiga model perang sebelumnya, yaitu: Perang Konvensional, Perang Ideologi-Politik-Ekonomi-Sosial-Budaya (IPOLEKSOSBUD) dan Perang Teknologi atau Information Technology (IT).

Demikianlah, bila kita orang tua atau anak muda yang sedang memantapkan masa depannya, memilih kariernya, buku ini bisa menjadi tambahan semangat. Membaca kisah hidup orang lain, bukan cuma untuk sekadar tahu kisahnya, tetapi untuk digugu dan ditiru.

Seperti petitih yang menjadi pegangan kuat bagi Dudung Abdurachman sampai kini, kita pun dapat menirunya. “Kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak bisa?”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com