Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman, yang saya perkenalkan di awal tulisan ini, lewat bukunya nanti tak segan membagi pengalaman dan karier militernya sejak ia taruna remaja, perwira remaja, sampai kini menyandang bintang dua.
Ia tipe pekerja keras. Sejak kecil usia 11 tahun, sudah ditinggal meninggal ayahnya yang PNS di lingkungan Bekangdam Kodam III/Siliwangi. Hal itu membuat Dudung kecil sudah membulatkan tekad menjadi tentara. Profesi yang selalu memanggil karena ia hidup dan tinggal di barak, juga profesi yang selalu diniatkan sebagai caranya meringankan ibunya mencari uang untuk pendidikan kedelapan mereka bersaudara.
Segala pekerjaan pernah dilakukannya untuk membantu ibundanya. Menjual kue tampah di perempatan Jalan Belitung di sekitar Kodam III/Siliwangi, sampai jadi pengantar (loper) koran ketika duduk di bangku SMAN 9 Bandung.
Dalam usia sebegitu belia, satu yang berbeda dengan anak-anak remaja seusianya, Dudung sadar hidup itu juga berisi kerja keras, tekad dan upaya yang tanggap untuk mengejar mimpi.
Apa yang tampak sebagai keberhasilan saat ini, sebetulnya hasil jatuh-bangun dan babak-belur yang lama dan dalam, yang orang lain tak pernah melihatnya. Pada sedikit orang, maka kepedihan hidupnya di masa kecil dan kepatuhan serta cintanya kepada kedua orang tua, justru menjadi pendorong semangatnya sampai ke titik tertinggi.
Itu yang tampaknya terjadi pada Jenderal Dudung yang akan saya perkenalkan ini. Semoga para calon taruna dan taruna militer Indonesia, bisa mengikuti jejaknya.
“Saya dibentuk oleh kepedihan hidup, doa yang tak putus dari Ibunda juga almarhum Ayah, didikan orangtua serta keluarga yang penuh kasih sayang dan tempaan keras Akademi Militer-Lembah Tidar...” kata ayah dua orang anak, dua putri dan satu putra ini dalam sebuah wawancara.
Kepemimpinan Militer -baik bentuknya maupun sosok pelakunya- sudah terlalu sering menjadi pertanyaan kalangan awam. Tetapi, jawabannya hanya bisa kita raba dan terka sendiri lewat mengikuti berbagai publikasi atau pemberitaan tokoh-tokohnya. Jarang kita memperoleh kesaksian, kiat atau bahkan kejadian nyata yang diceritakan ulang oleh pelakunya sendiri.
Bagaimana pula tidak menjadi tanda-tanya yang meluas, ciri khas kepemimpinan militer memang sangat khas, unik, tetapi juga tertutup dan hampir mustahil diketahui kalangan di luar ksatrian Akmil, Lembah Tidar.
Pelaku mumpuni kepemimpinan militer pun sangat terbatas. Mereka adalah kalangan militer yang berpredikat lulusan cemerlang yang ditempa lewat didikan khusus di Akademi Militer (Akmil) Magelang. Lembaga pendidikan militer nasional yang memang sangat sedikit membuka dan menceritakan seluk-beluk cara mendidik dan membangun karakter siswa didikannya, para Taruna Akmil.
Kisah tentang sebagian kecil para lulusan Akmil yang mendapat wewenang dan tugas menjadi pemimpin dalam tingkatan yang paling tinggi, misalnya para Panglima Komando Daerah Militer (Kodam), bisa kita baca satu-dua. Yaitu, ketika akhirnya kita ketahui kisah hidupnya sebagai tokoh militer nasional bahkan pemimpin nasional, ketika kisah itu sudah dibukukan.
Bila beruntung menemukannya, ada satu-dua contoh detailnya dikaitkan dengan apa yang pernah mereka terima sepanjang pendidikan di Akademi Militer, dan bagaimana itu memengaruhi cara memimpinnya.
Lulusan Akademi Militer yang paling berhasil dan sampai fotonya pun menghiasi hampir setiap sudut Akademi Militer Magelang, adalah Presiden ke-6 Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Pak SBY menulis buku SBY, Selalu Ada Pilihan untuk Pencinta Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia Mendatang (Penerbit Buku Kompas, 2014), di penghujung masa kepresidenan keduanya.
Saya mencatat buku ini cukup mumpuni dalam menelusuri bentuk kepemimpinan militer yang dipelajari, ditapaki dan kemudian dikembangkan serta dibangun sejak Pak SBY ditempa di Akademi Militer dan lulus pada tahun 1973, sampai ia memimpin Indonesia tahun 2004-2014.
Loper Koran jadi Jenderal, Seni Kepemimpinan Militer Indonesia adalah jejak pengalaman hidup dan gaya memimpin Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman. Ia lulusan Lembah Tidar tahun 1988, 15 tahun setelah Pak SBY. Tentu saja menjadi sebuah tanda yang membedakannya cukup jauh.