Sementara, rumah sakit yang baru dibangun diperuntukkan bagi mereka yang telah berada di rumah sakit lain dan akan dipindahkan ke rumah sakit baru nantinya.
"Tapi untuk orang seperti kita, kita tidak dapat memperoleh kamar, biarkan mereka yang memperoleh tempat di rumah sakit baru itu," ujar Wang.
Menurut Wang, satu-satunya tempat yang dapat mereka datangi saat ini berdasarkan pedoman pemerintah adalah lokasi karantina.
"Namun, jika kami pergi, apa yang terjadi pada paman akan terjadi juga pada ayah. Jadi, kami memutuskan untuk mati di rumah," katanya.
Baca juga: Antisipasi Virus Corona, Kemenkes Siapkan 16 Posko Kesehatan di Natuna
Kisah serupa juga dialami oleh keluarga-keluarga lainnya. Menurut Wang, orang-orang di lingkungannya tidak berbeda jauh kondisinya.
"Ayah teman saya bahkan ditolak oleh staf di lokasi karantina karena ia telah mengalami demam tinggi," ungkap Wang.
Sumber daya yang terbatas juga berbanding terbalik dengan besarnya populasi yang terinfeksi virus corona.
"Kami takut, kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," tambahnya.
Wang mengatakan bahwa jika ia tahu kota akan diisolasi pada 23 Januari lalu, ia pasti telah pergi dari kota tersebut.
"Jika kami ada di tempat lain, mungkin ada harapan. Saya tahu apakah orang-orang menyukai kami, yang mendengarkan pemerintah dan tinggal di Wuhan, membuat keputusan yang tepat atau tidak. Namun, saya pikir, kematian paman telah menjawab pertanyaan itu," pungkas Wang.
Baca juga: Kemenkes: Data WHO, Virus Corona Capai 20.630 Kasus
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.