MELALUI Keppres Nomor 6 Tahun 2000 tertanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tertanggal 6 Desember 1967.
Berdasarkan keputusan Presiden Abdurrahman Wahid, kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri secara resmi menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional pada tahun 2003.
Sejak itu warga Tionghoa boleh merayakan Imlek secara terbuka dan tanpa izin khusus.
Sampai hari ini warga Tionghoa di Indonesia bebas merayakan Imlek. Pada malam Imlek (Sin Cia) biasanya warga Tionghoa akan sembahyang ke kelenteng (bio).
Di situ mereka melaksanakan ibadat dengan khusyuk. Di dalam kelenteng biasanya dinyalakan ratusan lilin besar kecil, meja berisi sesaji buah-buahan, dan hio.
Hampir semuanya didominasi warna merah menyala. Di dalam kelenteng mereka berdoa dan memanjatkan syukur sekaligus meminta perlindungan di tahun yang baru.
Pada perayaan Imlek (Sin Cia) kita sering membaca tulisan gong xi fa cai yang artinya semoga tambah kaya.
Gong xi artinya selamat, fa artinya berkembang, dan cai artinya kekayaan.
Tetapi bagi kalangan warga Tionghoa yang sudah tua, ucapan gong xi fa cai pada saat Imlek kurang tepat.
Yang lebih tepat adalah pas sin cun kiong hi, selamat memasuki musim semi (xin chun gong xi). Artinya bisa lebih luas yang boleh diucapkan semoga tambah bahagia, tambah kaya, tambah panjang umur, tambah sukses. (I Wibowo, 2003).
Bagi warga Tionghoa makna Imlek yang luhur adalah bakti anak kepada orangtua.
Warga Tionghoa sangat menjunjung tinggi rasa hormat dan bakti anak kepada orangtuanya, istilahnya hao (xiao). Artinya, bakti anak kepada orangtua.
Dalam tradisi Tionghoa, anak wajib hao pada orangtuanya. Anak yang tidak berbakti kepada orangtua disebut put hao (bu xiao) artinya terkutuk.
Makna bakti anak kepada orangtua bukan hanya kepada orangtua secara langsung, tetapi juga kepada leluhurnya.
Oleh karena itu, warga Tionghoa biasanya memiliki meja abu di rumahnya sendiri.
Meja abu adalah sebuah meja berkaki empat (bisa ditambahi lagi meja kecil apabila sesaji banyak).