Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal Keraton Agung Sejagat, Mengapa Deklarasi Kerajaan Itu Muncul?

Kompas.com - 15/01/2020, 05:46 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Media sosial diramaikan dengan kemunculan Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah.

Adalah Totok Santoso Hadiningrat, pria yang menduduki kursi tertinggi di keraton tersebut.

Sementara istrinya, Dyah Gitarja bahkan sering dipanggil dengan Kanjeng Ratu.

Kemunculan kerajaan ini pun mendapat respon besar dari warganet. Hingga saat ini, kata "Keraton Agung Sejagat" menduduki daftar populer di media sosial Twitter Indonesia dengan 9.448 twit.

Lantas, mengapa fenomena kemunculan kerajaan baru ini bisa muncul?

Baca juga: Terjunkan Intelijen, Polisi Cari Tahu Motif hingga Sejarah Berdirinya Kelompok Keraton Agung Sejagat di Purworejo

Nilai fatalistik masa lalu

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan, ada dua kemungkinan fenomena tersebut bisa muncul. Pertama, adanya rasa kekecewaan terhadap negara dan pemerintahan yang tidak mampu memberikan ketenangan.

"Ada kemungkinan juga karena kekecewaan terhadap pemerintah Indonesia yang bertahun-tahun isinya kok berantem terus, seolah-olah negara tidak bisa membawa kedamaian ketenteraman dan keadilan," kata Drajat kepada Kompas.com, Selasa (14/1/2020).

Kedua adalah adanya kepercayaan kepada nilai-nilai fatalistik tentang masa lalu yang masih kuat di masyarakat.

"Karena kepercayaan kepada sistem dan nilai-nilai fatalistik tentang itu yang masih kuat di masyarakat. Makanya ada orang yang mendeklarasikan itu," paparnya.

Menurutnya, kepercayaan atau keyakinan tentang bangsa Jawa yang besar ini sudah ada dari dulu sampai sekarang.

Baca juga: Sebelum Keraton Agung Sejagat, 4 Kelompok Ini Juga Sempat Bikin Heboh

Drajat mencontohkan ramalan Kertonegoro, yaitu ramalan yang menyebutkan akan adanya ratu adil.

"Itu keyakinan-keyakinan bahwa sebenarnya kekuasaan itu bukan sekedar legal formal, tapi ada kekuatan luhur dari atas, kalau orang Jawa dulu menyebut wahyu," kata Drajat.

Karenanya, Drajat menganggap fenomena-fenomena semacam ini akan terus muncul sepanjang "toto tentrem kerto raharjo" belum bisa dirasakan oleh masyarakat.

Kalimat "toto tentrem kerti raharjo" sendiri merupakan ungkapan untuk menggambarkan keadaan yang tenteram.

"Maka pikiran-pikiran yang berbasis pada nilai dan penghargaan pada masa lalu itu bisa muncul," paparnya.

Bisa menimbulkan keresahan

Dosen Sosiologi UNS tersebut mengingatkan, jika pendeklarasian kerajaan tersebut akan bermasalah jika benar-benar mengorganisir masa secara sistematis dan membangun sistem yang berbeda.

Sebab, hal itu akan menimbulkan gap antara masyarakat yang demokratik dengan sistem kerajaan ini.

"Itu bisa menimbulkan keresahan-keresahan dan pada ujungnya polisi masuk ke sana. Itu yang jadi masalah," ujar Drajat.

"Sepanjang kegiatan itu hanya diniatkan sebagai pemujaan pada masa lalu, pemujaan pada tradisi, itu bukan masalah," tutupnya.

Baca juga: Mengenal Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Ada Raja dan Ratu hingga Klaim Bukan Aliran Sesat

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com