KOMPAS.com - Kasus kekerasan remaja di Yogyakarta yang kerap disebut klitih kembali menelan korban. Terbaru, korban atas nama Fatur Nizar Rakadio (16) meninggal dunia, Kamis (9/1/2020).
Fatur menjadi korban klitih di daerah Selopamioro, Imogiri, Bantul, pada Desember 2019 lalu.
Fatur, warga Trimulyo, Kecamatan Jetis, Bantul itu, sempat mendapatkan perawatan, tetapi nyawanya tak tertolong.
Kasus yang menimpa Fatur bukan yang pertama kali terjadi. Ini kasus yang kesekian kali.
Fenomena klitih memang mengalami pasang surut. Namun, kembali muncul belakangan ini.
Peristiwa klitih selalu menjadi perhatian warga dan menjadi perbincangan, termasuk di dunia maya.
Baca juga: Jadi Tersangka, Pria Penabrak 2 Remaja Klitih hingga Tewas di Yogyakarta
Sosiolog kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Soeprapto mengatakan, kejahatan klitih selama ini memang sudah ditindak tegas oleh polisi.
Sejumlah pelaku yang terbukti melakukan kejatahan diproses hukum hingga ke pengadilan.
Akan tetapi, menurut dia, penyelesaiannya tak hanya dari sisi hukum, tetapi harus sampai pada akar permasalahan.
Klitih, dalam pandangan Soeprapto, ibarat rumput yang tidak tuntas dibersihkan, saat hujan tumbuh lagi.
Ia menyebutkan, klitih bisa kembali terjadi pada saat-saat tertentu, dengan tujuan tertentu pula.
Salah satunya menciptakan kesan bahwa Yogyakarta tidak aman, sehingga ingin menimbulkan ketakutan dan ketidaknyamanan.
"Momen munculnya klitih juga saat ada pesanan dari pihak tertentu," kata Soeprapto saat dihubungi Kompas.com, Senin (13/1/2020).
Menurut dia, aksi klitih juga bisa muncul ketika sebuah kelompok melakukan rekrutmen anggota baru.
Saat itu, para anggota geng atau kelompok ingin unjuk diri atau menunjukkan eksistensinya dengan melakukan tindakan kekerasan.
Baca juga: Meski di Bawah Umur, Pelaku Klitih Tetap Dikenakan Pidana