KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo kembali menyinggung persoalan impor migas di Indonesia.
Dia mengaku sudah mengetahui pihak yang selama ini mendapatkan untung besar dari impor minyak dan gas.
Hal tersebut disampaikan saat sambutan Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/12/2019).
Untuk itu, Presiden Jokowi memberikan peringatan kepada para pemain impor migas tersebut.
Indonesia pernah menjadi produsen dan eksportir minyak di dunia.
Dikutip dari Kompas.com, 3 Oktober 2017 Data BP World Statistic pada 2012 mencatat kalau produksi minyak bumi Indonesia pernah mencapai 1,65 juta barel per hari pada 1977.
Capaian itu, membuat Indonesia masuk dalam jajaran 11 negara produsen minyak terbesar di dunia.
Saat itu, Indonesia sebagai anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak.
Dari segi pendapatan negara, industri migas nasional kala itu juga memberikan sumbangan yang besar terhadap penerimaan negara.
Hasil riset Reforminer Institute menyatakan, pada medio 1970-1990 sektor migas memberikan sumbangan 62,88 persen terhadap penerimaan negara.
Nilai ekspor migas Indonesia pun mencapai 20,66 miliar dollar AS.
Namun, kini Indonesia harus mengimpor minyak bumi untuk menyokong kebutuhan energi.
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rilis per 16 Desember 2019, impor migas mencapai 2,13 miliar dollar AS pada November 2019.
Nilai tersebut naik 21,6 persen dibandingkan Oktober 2019.
Tetapi, secara kumulatif nilai impor migas pada Januari hingga November 2019 adalah 156,22 miliar dollar AS atau turun 9,88 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Baca juga: Jokowi: Sudah Ketemu Siapa yang Senang Impor Migas
Berikut data impor migas selama 10 tahun berturut-turut:
1. 2018: 49,216 juta ton
2. 2017: 50,37 juta ton
3. 2016: 48,325 juta ton
4. 2015: 48,309 juta ton
5. 2014: 48,869 juta ton
6. 2013: 49,053 juta ton
7. 2012: 44,255 juta ton
8. 2011: 43,727 juta ton
9. 2010: 40,499 juta ton
10. 2009: 36,006 juta ton
Untuk menekan impor migas, pemerintah, lewat penunjukan kepada Pertamina, mengusung megaproyek yang disebut sebagai program pengembangan kilang (refinery development master plan/RDMP) dan pembangunan kilang baru (new grass root refinery/NGRR).
Dikutip dari Harian Kompas, 15 November 2019, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri.
Inti penerbitan regulasi ini untuk mempercepat pengembangan dan pembangunan kilang di Indonesia.
Produksi minyak mentah dalam negeri saat ini kurang dari 800.000 barel per hari atau hanya separuh dari kebutuhan harian nasional.
Kilang menjadi sangat penting untuk mengurangi komponen impor energi kita.
Apabila kapasitas kilang yang tersedia cukup atau melebihi volume konsumsi BBM harian secara nasional, Indonesia hanya cukup mengimpor minyak mentah.
Dari segi devisa akan ada penghematan.
Megaproyek kilang ini masuk dalam daftar proyek prioritas nasional. Ada empat proyek RDMP dan dua proyek pembangunan kilang baru.
Baca juga: Dirut Pertamina Lapor Jonan Soal Penurunan Impor Migas
Keempat proyek RDMP tersebut adalah kilang Cilacap (Jawa Tengah), Balongan (Jawa Barat), Balikpapan (Kalimantan Timur), dan Dumai (Riau).
Sementara, dua kilang baru yang hendak dibangun adalah kilang Tuban (Jawa Timur) dan Bontang (Kalimantan Timur).
Secara keseluruhan, investasi yang dibutuhkan untuk pembiayaan megaproyek ini berkisar Rp 500 triliun sampai Rp 600 triliun.
”Megaproyek ini akan meningkatkan kapasitas kilang Pertamina dari 1 juta barel per hari menjadi 2 juta barel per hari. Proyek ini dijadwalkan rampung pada 2026,” kata Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Ignatius Tallulembang dalam sebuah paparan pada pekan lalu, di Jakarta.
Selain itu, impor minyak mentah dan BBM di masa lalu juga diduga menjadi praktik subur bagi para pemburu rente yang dikenal sebagai mafia migas.
Mereka (pemburu rente) diduga mengambil untung dari setiap barel minyak mentah atau BBM yang diimpor.
Pertamina Trading Energy Ltd atau Petral, unit usaha PT Pertamina (Persero) di bidang impor migas, ditengarai sebagai salah satu sumber inefisiensi dalam pengadaan impor minyak.
Sejak dibubarkan pada akhir 2014—melalui rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai Faisal Basri— Pertamina mengklaim ada efisiensi 30-40 sen dollar AS per barel dari minyak mentah dan BBM yang diimpor.
Ketika Petral masih beroperasi, ada pemborosan 30-40 sen dollar AS per barel dari volume minyak mentah dan BBM yang diimpor.
Jika dikalikan dengan 700.000 barel per hari, artinya ada inefisiensi (sedikitnya) sebesar Rp 1,07 triliun per tahun.
Baca juga: 8 Bisnis Pertamina di Luar Migas, dari Minimarket sampai Jualan AC
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.