POLEMIK wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak langsung kembali mencuat ke permukaan publik. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri tengah melakukan evaluasi atas sistem pilkada langsung.
Hal itu menimbulkan beragam pendapat, baik pro maupun kontra, dari sejumlah kalangan partai politik dan ormas besar islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Ada yang tetap konsisten meminta pilkada dilaksanakan secara langsung karena penghapusan pilkada langsung merupakan sebuah kemunduran demokrasi. Namun, ada pula yang menginginkan pilkada kembali kepada DPRD.
Penyebab utama munculnya wacana pilkada melalui DPRD adalah karena sistem pilkada langsung yang diterapkan sejak era reformasi menimbulkan sejumlah persoalan.
Permasalahan itu mulai dari biaya penyelenggaraan pilkada yang membutuhkan biaya politik tinggi, maraknya money politic yang menyebabkan potensi korupsi kepala daerah terpilih, potensi konflik yang tinggi dalam sistem sosial masyarakat, sengketa hukum, hingga gejala mewabahnya praktik politik dinasti.
Ada empat sumber pengeluaran yang menjadikan tingginya biaya politik pada pemilihan kepala daerah yakni biaya pencalonan kepala daerah (biasa disebut mahar politik), dana kampanye politik, biaya konsultasi dan survei pemenangan serta praktik jual beli suara (Perludem, 2017).
Harapannya memang, hasil dari pilkada dapat melahirkan pemimpin berkualitas. Namun, yang terjadi justru sangat jauh dari harapan. Kepala daerah terpilih pada akhirnya disibukkan dengan harus mengganti biaya politik tinggi yang telah dikeluarkan, bukan fokus pada realisasi visi misi yang disampaikan selama masa tahapan kampanye.
Hal ini tentu sangat ironis. Jika pasca-pilkada ini terus-menerus terjadi, sampai kapan demokrasi substansial dapat terwujud?
Menjawab pelbagai kontroversi yang terjadi, sejatinya memang diperlukan kajian ilmiah yang jernih terkait dengan dampak dan manfaat dari pilkada langsung. Evaluasi yang diinisasi oleh Mendagri perlu diapresiasi, karena hal ini menjadi penting untuk membenahi mekanisme politik secara tepat.
Pemerintah juga tengah mengusulkan sistem pilkada asimetris, yakni sistem pilkada yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pemilihan kepala daerah antardaerah, misalnya karakteristik tertentu daerah tersebut seperti kekhususan aspek administrasi, budaya, dan faktor strategis wilayah.
Sistem pilkada asimetris ini dinilai tidak berbiaya tinggi serta dapat meminimalisasi konflik di masyarakat.
Yang menjadi pertanyaan adalah, tepat dan efektifkah penerapan sistem pilkada asimetris ini di Indonesia? Apakah sudah mampu menjawab seluruh persoalan yang terjadi?
Kalau kita perhatikan secara saksama, sesungguhnya pelaksanaan pilkada asimetris juga bukan hal baru. Pilkada asimetris sudah diterapkan di beberapa daerah, seperti Aceh dan Yogyakarta.
Pilkada Aceh menyertakan keberadaan partai politik lokal, pilkada di Yogyakarta tanpa pemilihan gubernur, dan Pilkada DKI dengan tanpa pemilihan wali kota maupun bupati. Ini merupakan beberapa pilihan asimetris di Indonesia (Anggraeni, 2019).
Berbagai usulan dan wacana yang kerap digulirkan oleh pemerintah memunculkan sebuah pertanyaan besar: mau dibawa ke mana arah demokrasi kita?