PEPATAH umum mengatakan bahwa kita harus belajar dari kesalahan. Orang Indonesia percaya hal ini,-bahkan saking percayanya, kita terus belajar membuat kesalahan yang sama berulang-ulang hingga keluarlah drama.
Publik suka drama karena pengalihan dari fakta kehidupan sebenarnya tapi dalam era demokrasi ini, bukan hanya pemerintah yang dituntut untuk menjaga dan memonitor, kualitas pengawasan masyarakat justru lebih penting.
Banyak orang mengatakan, buat apa mengawasi kebijakan karena tidak ada hubungannya dengan saya. Hal ini keliru sekali.
Belajar dari kasus demonstrasi atas perubahan undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan penanganan kekerasan seksual pada Oktober 2019, korelasinya sangat jelas sekali. Semua bisa kena.
Dalam kehidupan demokrasi, seluruhnya saling bergantung. Kebijakan sangat bergantung pada cara berpikir masyarakat, semakin dewasa, maka satu bangsa akan dapat menghasilkan kebijakan yang sesuai.
Memang tidak ada kebijakan yang sempurna, tetapi kebijakan yang tepat dan menjaga marwah UUD 1945, kepentingan publik dalam jangka panjang dan melindungi segenap bangsalah yang kita cari.
Dalam pembuatan kebijakan, ada lima azas penting: keadilan, kesamaan kedudukan, ketertiban dan kepastian hukum, serta asas kesesuaian. Kelima ini adalah asas formal tentang bagaimananya dan peraturan perundang-undangan lahir dari negara hukum.
Dalam membuat prioritas pembahasan dan pengesahan RUU, seringkali DPR mengesampingkan usulan dari masyarakat yang akhirnya berdampak pada demonstrasi berkepanjangan dan kerugian materil dan immateriil.
Karenanya, agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama, bersama-sama kita harus memantau proses pengambilan kebijakan di DPR. Mewakili elemen masyarakat, setidaknya tercatat 11 lembaga yang menjadi mengikuti proses tersebut.
Koalisi masyarakat sipil, yakni Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Migrant Care, Elsam, IPC, JPPR, Desantara, Kode Inisiatif, LBH Pers, Yappika-Action Aid, AJI Indonesia, dan PPUA Disabilitas, memetakan kebutuhan regulasi yang bersumbangsih pada tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal) ke-16, yakni: menguatkan masyarakat inklusif dan damai untuk tujuan pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua, dan membangun kelembagaan yang efektif, akuntabel dan inklusif di semua tingkatan.
Koalisi ini mengusulkan 41 RUU (termasuk RUU yang masuk dalam Prolegnas 2015-2019 dan tertunda penyelesaiannya pada periode 2014-2019) agar masuk ke dalam Prolegnas 2020-2024. Usulan ini dirumuskan 11 lembaga masyarakat sipil dan dihadiri puluhan lembaga masyarakat sipil lainnya.
Ada empat pertimbangan dalam penyusunan usulan ini. Pertama, capaian Program Legislasi Nasional periode 2015-2019, khususnya RUU yang berdampak pada hajat hidup orang banyak namun belum selesai dibahas.
Kedua, hasil penelusuran putusan mahkamah konstitusi, yang secara otomatis berdasarkan ketentuan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, masuk kategori kumulatif terbuka.
Ketiga, pernyataan publik Ketua DPR RI Puan Maharani mengenai delapan RUU Prioritas DPR RI. Keempat, berbagai hasil riset mengenai perkembangan teknologi yang berdampak perkembangan telekomunikasi dan ekonomi di era digital.
Pada Oktober 2019, Ketua DPR RI Puan Maharani telah mengumumkan RUU mangkrak dan omnibus law akan menjadi prioritas (Kompas, 1 November 2019). Namun, dari pengamatan koalisi masyarakat sipil, argumentasi untuk RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Perkoperasian, dan Pengawasan Obat dan Makanan masih memerlukan pembahasan dan kajian lebih menyeluruh, termasuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam setiap rangkaian pembahasan.
Oleh karenanya, DPR RI dan pemerintah perlu secara serius menyediakan ruang partisipasi yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat dalam setiap perumusan kebijakan di Indonesia agar semua bisa kena, bukan kena mudaratnya, melainkan kena manfaatnya sebagaimana termaktub dalam sebagaimana mandat UUD 1945 dan 16 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Berikut ini 41 kebijakan usulan tersebut: